ID ENG

Sistem Pengupahan Dinilai Mengalami Kemunduran

Tanggal Publish: 29/11/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Sejak Kementerian Tenaga Kerja dan (Kemenaker) mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan Menteri atau Permen No. 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum tertanggal 23 November 2018, pengganti Permen No 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum langsung disikapi dengan kritis. Pasalnya, perubahan Permen yang dikeluarkan pemerintah, melalui Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) dinilai mengalami kemunduran.


Sikap kritis itu disampaikan Tri Pamungkas, Ketua DPC FSB Garteks KSBSI Tangerang Raya dalam keterangan tertulisa yang disampaikan ke awak media. Dia menegaskan, sistem pengupahan yang terjadi saat ini justru tidak mengalami kemajuan, yang ada mengalami kemunduran. Ditambah lagi, dengan keluarnya kebijakan Peraturan Pemerintah atau PP No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan, semakin membuat buruh jauh dari harapan untuk sejahtera. Hal itu dikarenakan, hasil produk PP No. 78 Tahun 2015 dalam formulasi perhitungan upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 tentang Ketenagakerjaan, telah mengabaikan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).


Bagi sebagai aktivis buruh, tentu saja sistem pengupahan hasil produk pemerintah hari ini sangat tidak adil dan jelas-jelas merugikan buruh. Karena kriteria upah minimum kabupaten/kota (UMK) sampai tingkat kabupaten/kota pun terkesan dipaksakan harus berdasarkan inflasi nasional. Kemudian, mekanisme UMK memakai perhitungan periode bulan September tahun lalu sampai dengan periode bulan September tahun berjalan. Ditambah dengan pertumbuhan produk domestik bruto periode kwartal III dan IV tahun lalu dengan Kwarta I dan II tahun berjalan.


Dalam kebjakan Pemenaker juga terdapat pasal yang menyatakan seorang gubernur tidak dapat menetapkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) kalau tidak tercapai kesepakatan antara Asosiasi Pengusaha Sektor pada dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada sektor yang bersangkutan. Dia juga memandang Permenaker RI No.15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum prematur dan terkesan dipaksakan.


Dimana ada kewajiban pemerintah pusat mendorong pelaku usaha untuk segera membentuk Asosiasi Pengusaha pada Sektor yang terdiri dari para pengusaha pada satu sektor tertentu sesuai dengan KBLI. Namun faktannya sampai saat ini sosiasi pengusaha sektor yang ada di tingkat kabupaten maupun kota juga masih minim. Disisi lain penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak Namun disisi lain harus ada kesepakatan.


“Tentu saja masalah ini bagi aktivis buruh akan menjadikan ketidakpastian dalam pemberlakuan upah minimum sektoral,” ujarnya, Tangerang Raya, Selasa, 28 November 2018.

Untuk itulah, DPC FSB GARTEKS SBSI Tangerang Raya, mengatakan siap bermusyawarah dengan Asosiasi Pengusaha Sektor namun yang menjadi pertanyaan bagaimana jika asosasi pengusaha sektor belum terbentuk apakah UMSK tidak dapat dijalankan ditingkat perusahaan.

“Permen ini juga tidak mengatur secara teknis bagaimana jika di dalam perusahaan ada lebih dari satu SP/SB dan sektornya sama siapa yang lebih berhak menandatangani kesepakatan dengan asosiasi pengusaha sektor. Cukup beralasan kami memandang Permenaker ini sangat lemah dan merugikan buruh,” tutupnya. (AH)