ID ENG

PERAN SERIKAT PEKERJA/BURUH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA/BURUH

Tanggal Publish: 11/05/2023, Oleh: DPP FSB Garteks

PERAN SERIKAT PEKERJA/BURUH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA/BURUH


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai peran serikat pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh. Pemutusan Hubungan Kerja telah memiliki pengaturan tersendiri yang termuat dalam Bab XII Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun pada praktiknya di lapangan, undang-undang tersebut masih memiliki beberapa kelemahan dimana dalam aturan-aturannya ditemukan celah yang dapat membuat perusahaan menyimpangi isi atau makna dari aturan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja. Adapun jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yuridis normatif dititikberatkan pada penggunaan data kepustakaan atau data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data yang digunakan oleh penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif merupakan uraian dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis dan efektif. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa sangat dibutuhkannya serikat pekerja atau buruh dalam hal menangani permasalahan-permasalahan yang ada dalam suatu perusahaan, salah satunya adalah permasalahan pemutusan hubungan kerja yang biasanya dilakukan secara sepihak oleh pengusaha dan merugikan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis juga bermaksud melakukan komparasi pengaturan peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Pemutusan Hubungan Kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kata Kunci: Peran Serikat Pekerja/Buruh, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak


A. PENDAHULUAN


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa hak-hak konstitusional warga negara yang menjadi hak-hak utama yang harus diwujudkan oleh negara. Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian pasca amandemen, pada Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” yang memuat hak warga negara dalam bidang-bidang ketenagakerjaan. Melihat dari kedua pasal tersebut, terdapat kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan oleh karena itu diperlukan adanya perencanaan di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara terhadap pemenuhan hak konstitusional warga negara. Salah satu wujud penerapan kewajiban negara tersebut salah satunya memperhatikan hak-hak tenaga kerja/buruh dan prosedural mekanisme pemutusan hubungan kerja yang baik dan transparan agar memperoleh hak yang sama. Ketentuan tersebut diatur dalam di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Dari kedua undang-undang tersebut secara umum menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja baru dapat dikatakan sah apabila sudah memiliki izin dari sebuah lembaga yang ditunjuk.


Pemutusan Hubungan Kerja adalah upaya pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pada hakikatnya dapat juga dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk pengakhiran sumber nafkah bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Tenaga kerja hingga saat ini selalu menjadi pihak yang tidak memiliki kekuatan jika dihadapkan dan dibandingkan dengan Pengusaha yang memiliki kekuatan. Sehingga tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan apabila dihadapkan dengan kepentingan perusahaan. Pemutusan Hubungan Kerja seakan selalu menjadi permasalahan yang selalu relevan dikaji hingga saat ini.


Pemutusan Hubungan Kerja telah memiliki pengaturan tersendiri yang termuat dalam Bab XII Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun pada praktiknya di lapangan, undang-undang tersebut masih memiliki beberapa kelemahan di mana dalam aturan-aturannya ditemukan celah yang dapat membuat perusahaan menyimpangi isi atau makna dari aturan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja. Di era digitalisasi peralatan perusahaan, pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dalih efisiensi perusahaan yang membuat banyak hak-hak pekerja direnggut dengan adanya modernisasi peralatan.

Hal ini memiliki dampak besar untuk jangka panjang dan tentu saja semakin menambah angka pengangguran dalam masyarakat. Selain digitalisasi, perusahaan sering menggunakan dalih bahwa pemutusan hubungan kerja untuk efisiensi perusahaan diperbolehkan sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pernyataan di atas, penulis akan mencoba untuk mengkaji dan menganalisis terkait situasi dan kondisi yang dihadapi ketika terjadinya pemutusan hubungan kerja beserta contoh kasus yang sudah diringkas untuk dikaji mengenai bagaimana penyelesaian yang seefisen mungkin dan tidak merugikan kedua belah pihak yang berselisih. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam paper ini adalah “Bagaimana Peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang dilakukan oleh Perusahaan terhadap Pekerja/Buruh?” serta “Bagaimana pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?”.

B. PEMBAHASAN

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia ( KPBI ) Kabupaten Tangerang dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berikut Data Pemdampingan/Perselisihan Hubungan Industrial yang Dilakukan Oleh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Dalam upaya Perselisihan Hubungan Industrial yang pernah ditangani/dilakukan selama kurun waktu tahun 2020-2022 di Kabupaten Tangerang :

Tabel 1 Pendampingan Kasus/Perselisihan Hubungan Industrial oleh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Di Kabupaten Tangerang Tahun 2020-2021
Sumber : Teten & Deni

No Upaya Penyelesaian perselisihan hubungan industrial 2020 - 2021 2021 - 2022 Jumlah
1 Perundingan Bipartit

 498

388 886
2 Mediasi 14 128 142
3 Mogok Kerja  33 57 90
4 Pengadilan Hubungan Industrial  18 28 46
5 Aksi/Unjuk Rasa 201 561 761

Tabel 2.1 Pendampingan Kasus/Perselisihan HUbungan Industrial Oleh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesuia (KPBI) Di Kabupaten Tangerang Tahuin 2021-2022
Sumber : Teten, & Deni

Berdasarkan tabel diatas terlihat terjadi peningkatan intensitas pendampingan (advokasi) perselisihan hubungan industrial khususnya yang dilakukan oleh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia dalam rentang Tahun 2021 hingga 2022, yaitu terdapat pada upaya Bipartit, mogok kerja dan Pengadilan Hubungan Industrial.

Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor meningkatnya jumlah perselisihan hubungan industrial yang terjadi pada rentang waktu tersebut. Diantara ketiga pilihan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, Konfederasi Persatuan Butruh Indonesia lebih berperan aktif dalam pilihan upaya mogok kerja dibandingkan dengan pilihan upaya penyelesaian perselisihan yang lain.

KPBI lebih cenderung memilih upaya mogok kerja, karena upaya tersebut merupakan upaya yang efektif dan efisien dari pada penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lain seperti konsiliasi, arbitrase ataupun mediasi. Nilai efisien dan keefektifan sebuah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh, dapat dilihat dari akibat yang timbul apabila upaya mogok kerja dilakukan di dalam sebuah perusahaan. Mogok kerja yang dilakukan pekerja/buruh berpengaruh secara langsung terhadap proses berjalannya sebuah perusahaan, baik di bidang produksi ataupun bidang lainnya yang otomatis berhenti seketika itu juga. Disinilah posisi tawar pekerja/buruh meningkat karena saat itu, secara praktis pengusaha mengalami kondisi kekurangan sumber daya manusianya


1. Analisis Peran Serikat Pekerja/Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang Dilakukan oleh Perusahaan terhadap Pekerja/Buruh

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan infrakstruktur dan sumber daya manusia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Demikian juga dalam dunia ketenagakerjaan, Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermutu bagi dunia ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.

Di zaman yang modern ini tingkat kebutuhan ekonomi masyarakat semakin hari semakin tinggi, tingkat perkembangan ekonomi yang semakin pesat membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Dalam bidang perindustrian di Indonesia terdapat istilah pengusaha dan buruh. Pengusaha adalah orang yang membuat atau membuka suatu usaha dan memliki modal serta pekerja atau buruh untuk menjalankan usahanya. Pada zaman era globalisasi dan modernisasi sekarang ini berdampak bagi segala bidang. Dalam kehidupan perekonomian terutama dibidang industri yang selalu menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan pengusaha dan buruh.

Dalam suatu hubungan kerja antara pengusaha dan buruh dimungkinkan terjadinya konflik yang dapat merugikan salah satu pihak baik dari pihak pengusaha maupun pihak buruh itu sendiri. Di samping itu, hubungan antara kedua belah pihak tersebut seringkali terdapat ketidakseimbangan posisi antar buruh dengan pengusaha. Buruh seringkali berada di posisi yang lebih lemah dibandingkan posisi pengusaha. Buruh dianggap bukan mitra yang sejajar bagi pengusaha, tetapi objek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka.7 Hubungan kerja yang timbul antara pengusaha dengan pekerja/buruh tidak selalu berjalan secara harmonis.
Hal tersebut bisa terjadi karena antar keduanya memiliki kepentingan dan tujuan masing–masing, yang dapat menyebabkan perselisihan hubungan industrial. Salah satu jenis perselisihan hubungan industrial yang sering terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja sepihak oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh. Kedudukan buruh yang lemah ini perlu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu adalah pelaksanaan hak berserikat di dalam suatu serikat pekerja/buruh. Serikat pekerja/serikat buruh disini adalah sebagai wakil pekerja/buruh di dalam sebuah perusahaan untuk beberapa urusan tertentu.

Maksud dengan perwakilan tersebut supaya pekerja lebih kuat posisinya dalam melakukan perundingan dengan majikan karena pengurus serikat pekerja/buruh umumnya dipilih orang yang mampu memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial, serikat pekerja/serikat buruh memiliki fungsi atau peran untuk ikut serta dalam melakukan penyelesaian perselisihan tersebut guna memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja atau buruh dan keluarganya. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


Serikat pekerja dibentuk oleh para pekerja dengan memastikan bahwa kedudukan dan hak mereka sebagai pekerja dapat seimbang dengan kewajiban yang mereka lakukan untuk pengusaha. Dalam hubungan pekerja dan majikan atau pengusaha, tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan pekerja lebih tinggi. Dan kadangkala itu mengakibatkan kesewenang-wenangan para majikan terhadap pekerjanya. Untuk mengurangi dan menghadapi kemungkinan kesewenang-wenangan tersebut, para pekerja sebaiknya mempunyai sebuah perkumpulan yang biasanya dinamakan serikat pekerja. dengan serikat pekerja, para pekerja dapat bersatu padu sehingga menyeimbangkan posisi mereka dengan pengusaha. Oleh karena itulah wajar apabila tiap orang memiliki hak untuk bergabung dengan serikat buruh yang ia pilih secara bebas untuk bergabung, meningkatkan dan melindungi kepentingannya. negara diizinkan melakukan pembatasan yang masuk akal terhadap hak ini, untuk melindungi orang lain.

Pada dasarnya organisasi pekerja baik dalam bentuk Serikat Pekerja atau Serkat Buruh adalah untuk melaksanakan salah satu hak asasi manusia yaitu kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran yang selanjutnya diharapkan terpenuhinya hak dasar buruh akan upah yang layak, tanpa diskriminasi dalam kerjaan atau jabatan, adanya jaminan sosial, adanya perlindungan dan pengawasan kerja yang baik, dan sebagainya.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjabarkan bahwasannya apa yang menjadi tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu guna memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Peran serikat buruh dalam menyuarakan aspirasi dan partisipasi dalam pembangunan pada dasarnya termasuk hak atas pembangunan. Partisipasi dalam pembangunan mengandung arti bahwa individu atau kelompok akan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan hak berserikat yang terjamin. Secara konseptual maka melalui serikat pekerja/serikat buruh diharapkan bahwa :

1. Dapat berpartisipasi secara efektif dalam perumusan kebijaksanaan dan keputusan serta pelaksanaannya baik di tingkat lokal maupun nasional. sehingga aspirasi mereka benar-benar diperhatikan;

2. Merumuskan dan melakukan tugas ekonomi, sosial, politik dan budaya atas dasar pilihan sendiri berdasarkan kebijaksanaan- kebijaksanaan guna memperbaiki standar dan kualitas kehidupan mereka serta melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya;

3. Berpartisipasi dalam memantau dan meninjau kembali proses pembangunan.

Adapun implikasi dari adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah :

1. Bagi badan pemerintah di bidang perburuhan tingkat nasional dan propinsi: administrasi peraturan termasuk: penerimaan surat pemberitahuan tentang pembentukan serikat; memastikan dipenuhinya persyaratan pendaftaran oleh serikat; mengeluarkan nomor pendaftaran; serta menyimpan dan memperbaharui data-data pendaftaran serikat;

2. Bagi pekerja dan serikat: memahami hak dan kewajibannya sehubungan dengan surat pemberitahuan; mengembangkan AD/ART organisasi; administrasi dan laporan keuangan yang tepat; dan peran serikat dalam mewakili anggota membuat PKB dan menyelesaikan perselisihan industrial;

3. Untuk pengusaha: memahami kewajiban mereka untuk tidak ikut campur dalam pembentukan atau pengoperasian serikat, ataupun melakukan tindakan diskriminasi terhadap anggota dan pengurus serikat, dan untuk berhubungan dengan serikat-serikat yang baru dalam setiap masalah industrial dan perundingan

Dalam hubungan industrial di tingkat perusahaan, banyak lembaga yang dapat dijadikan sarana untuk membangun kerja sama. Dua di antaranya yang terpenting adalah membentuk lembaga kerja sama Bipartit dan membuat perjanjian kerja bersama (PKB) tentunya dengan anggapan di perusahaan telah berdiri serikat pekerja.

Adapun menurut kami, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi agar Serikat Pekerja/Buruh dapat berperan penyelesaian perselisihan PHK, yaitu:

a) Lembaga Kerja Sama Bipartit
Lembaga kerja sama Bipartit adalah suatu badan pada tingkat perusahaan atau unit produksi dibentuk oleh pekerja bersama-sama dengan pengusaha. Anggota Bipartit ditunjuk berdasar kesepakatan dan keahlian. Lembaga Bipartiti merupakan forum konsultasi, komunikasi, dan musyawarah dengan tugas utama sebagai media penerapan hubungan industrial dalam praktik kehidupan kinerja sehari-hari, khususnya dalam kaitan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja, ketenangan kerja dan usaha, serta peningkatan partisipasi pekerja dalam penetapan kerja.

b) Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama merupakan kelembagaan partisipasi yang berorientasi pada usaha-usaha untuk melestarikan dan mengembangkan keserasian hubungan kerja, usaha dan kesejahteraan bersama. Berdasarkan peran yang diharapkan dari perjanjina kerja bersama tersebut.organisasi pekerja dan pengusaha/organisasi pengusaha dalam menyusun secara bersama- sama syarat-syarat kerja harus melandaskan ciri pada sikap-sikap keterbukaan yang berorientasi ke depan, kekeluargaan, gotong royong, musyawarah dan mufakat, serta bertanggung jawab atas pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat.

c) Pengupahan yang Adil dan Layak
Pengupahan yang adil dan layak adalah pengupahan yang mampu menghargai seseorang karena prestasi dan pengabdiannya terhadap perusahaan. Upah yang adil adalah upah yang diberikan dengan memperhatikan pendidikan, pengalaman dan keterampilan seorang pekerja. Adapun upah yang layak adalah upah yang dapat memberikan jaminan kepastian hidup dalam memenuhi kebutuhan pekerja beserta seluruh keluarganya, baik kebutuhan materil maupun spritual.

d) Pendidikan dan Latihan
Hubungan industrial tidak saja memerlukan perubahan sikap mental maupun sikap sosial para pelakunya, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan di bidang pengelolaan teknis dan manajemen perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin siap bersaing di pasar bebas harus pula menyiapkan konsepsi pendidikan dan latihan seumur hidup di perusahannya.

e) Membangun Komunikasi
Komunikasi membangun perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka bekerja, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja guna memperbaiki kualitas kerja.

Apabila unsur-unsur ketahanan perusahaan telah berjalan dengan baik, hal itu akan dapat mencegah gejolak sosial. Tujuan utama hubungan industrial, ingin menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia. Hubungan yang harmonis dan berkesinambungan akan meminimalisasi pertentangan. Selanjutnya akan tumbuh hubungan industrial yang meningkatkan produktivitas, sikap kebersamaan, kepatutan, dan rasa keadilan. Dengan demikian, para pihak tidak akan saling bermusuhan dalam berproduksi, tetap saling menghormati, saling mengerti hal dan kewajiban dalam proses produksi, saling membantu untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan, dalam menghadapi persaingan bebas

Kasus nyata perselisihan pemutusan hubungan kerja sepihak ini dapat dilihat pada kasus Manajemen PT. PRIMA MAKMUR beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 5 Maret 2020 secara sepihak memutus hubungan kerja (PHK) terhadap beberapa anggota dan Pengurus PTP, SBM PT PRIMA MAKMUR dengan alasan “penciutan”. Alasan “penciutan” tersebut dirasa mengada-ngada karena secara hukum, alasan yang dimaksud sama sekali tidak ada dalam aturan ketenagekerjaan. Di mana sebelumnya, Serikat Pekerja dan Manajemen berunding terkait penyesuaian upah tahun 2020 dan kesejahteran pekerja PT. PRIMA MAKMUR. Namun bukan kesejahteraan yang didapat, tetapi beberapa pengurusnya pada saat bersamaan, mendapat informasi akan dilakukan PHK.

Atas keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak ini, Serikat Buruh Merdeka (SBM) PTP PT PRIMA MAKMUR sudah melakukan segala upaya dan bahkan memberikan opsi dan solusi untuk meghindari Pemutusan Hubungan kerja, karea faktanya, opsi diluar pemutusan hubungan kerja (PHK) masih sangat banyak dan memungkinkan untuk dilakukan menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja tanpa alasan. Misalnya, memutasi kebagian lain, hingga membuka penawaran pensiun dini bagi pekerja yang sudah tidak produktif dan lain-lain. Dimana, solusi dan opsi-opsi yang pernah disampaikan oleh Serikat Buruh Merdeka (SBM) PTP PT PRIMA MAKMUR tidak direspon dengan baik dan Manajemen tetap pada pendiriannya untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak

Karena tidak ada solusi dan itikad baik dari Manajemen PT. PRIMA MAKMUR untuk menghindari terjadinya pemutusan Hubungan Kerja(PHK), akhirnya Serikat Pekerja berdasarkan hasil rapat dan konsolidasi akbar memutuskan untuk menggunakan hak mogoknya, sebagaimana dibenarkan dan diberikan oleh undang-undang. Nanang , Ketua SBM PTP PT PRIMA MAKMUR menyatakan bahwa segala upaya preventif dan persuasif sudah diakukan dengan maksimal untuk menghindari terjadinya PHK. tetapi kondisi yang memaksa seluruh anggota dan pengurus SBM akhirnya memutuskan untuk menggunakan hak mogok kerja. Namun demikian, SBM tetap membuka jalur komunikasi dan itikad baik dengan beberapa stakeholder yang mempunyai kapasitas memutuskan kebijakan, termasuk kemarin tanggal 15 dan tanggal 19 April 2020, sebelum melakukan pemogokan, SBM berkomunikasi dengan dua direktur dan salah satu direktur utama PT PRIMA MAKMUR, yang ternyata keputusan mereka sudah bulat.

Terhadap kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh PT. PRIMA MAKMUR, Serikat Buruh Merdeka telah melakukan fungsi atau perannya untuk ikut serta dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Penyelesaian melalui upaya preventif dan persuasif sudah diakukan dengan maksimal untuk menghindari terjadinya PHK. tetapi kondisi yang memaksa seluruh anggota dan pengurus SBM akhirnya memutuskan untuk menggunakan hak mogok kerja.

2. Peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengundangkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2020 lalu. Setelah sebelumnya diwarnai kontroversi, polemik dan catatan kritis. Salah satu arsitektur yang dibawa dalam undang-undang ini ialah mengenai hukum ketenagakerjaan

Termasuk dalam hal ini yang perlu digarisbawahi ialah pengaturan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan. Apabila dikomparasikan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat penambahan satu alasan untuk PHK yaitu efisiensi perusahaan. Padahal Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa efisiensi tidak dapat menjadi alasan PHK.19 Sebelumnya, PHK dapat dilakukan oleh perusahaan hanya dengan alasan pailit, tutup karena merugi, perubahan status perusahaan, pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan kesalahan berat, pekerja memasuki usia pensiun, pekerja mengundurkan diri, pekerja meninggal dunia serta pekerja mangkir

Berkaitan dengan peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga diatur dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan dalam undang-undang ini. Dimulai dari Pasal 151 yang menyatakan bahwa para pihak harus berupaya agar PHK tidak terjadi. Jika tak dapat dihindari, para pihak harus saling memberi tahun maksud dan alasannya. Bila pekerja/buruh menolak PHK, penyelesaian dilakukan melalui perundingan bipartit baik antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Apabila tidak mencapai kesepakatan, PHK dilakukan melalui mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sehingga disini terlihat bahwa Serikat Pekerja/Serikat Buruh masih memiliki posisi dan tidak diubah dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini

Akan tetapi menurut pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Izzati, klaster ketenagakerjaan dalam Undang- Undang Cipta Kerja disusun dengan logika hukum yang keliru. Pengubahan pasal itu memperlihatkan kekeliruan pemerintah dalam memandang relasi antara pekerja/buruh dan pengusaha. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak, karena belum tentu pekerja dapat melakukan penolakan atas pemberitahuan hubungan kerja oleh perusahaan


C. PENUTUP

Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial, Serikat Pekerja/Serikat Buruh memiliki fungsi atau peran untuk ikut serta dalam melakukan penyelesaian perselisihan tersebut guna memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluargannya. Bukan hanya memperjuangkan serta melindungi hak para pekerja saja, serikat bekerja juga berfungsi sebagai jembatan antara perusahaan dan pekerja, serta tugas serikat pekerja juga menjaga hubungan yang baik antara serikat pekerja dengan perusahaan atau antara pekerja dengan perusahaan. Oleh sebab itu dengan adanya serikat pekerja, dapat membantu pekerja untuk mendapatkan haknya sehingga kesejahteraan pekerja dan keluarganya pun terjamin.


Terhadap kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh PT. Ikrar Mandiriabadi (IMA) sebagai contoh kasus, Serikat Pekerja Ikrar Mandiriabadi (SPIM) telah melakukan fungsi atau perannya untuk ikut serta dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Penyelesaian melalui upaya preventif dan persuasif sudah diakukan dengan maksimal untuk menghindari terjadinya PHK. tetapi kondisi yang memaksa seluruh anggota dan pengurus SPIM akhirnya memutuskan untuk menggunakan hak mogok kerja.

Adapun terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 menurut penulis tidak mendegradasi kewenangan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam penyelesaian perselisihan PHK. Akan tetapi terdapat satu penambahan alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK yaitu efektivitas. Namun menurut pakar hukum ketenagakerjaan FH UGM, masih terdapat celah yang berpotensi memberi kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan PHK dengan sewenang-wenang, yang menurut saya perlu penelitian komprehensif kedepannya

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Husni, Lalu. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada).
Kurniawan, Luthfi J. dkk.. 2015. Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial. (Malang: Penerbit Intrans Publishing).
Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perburuhan. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika). Uwiyono, Aloysius dkk.. 2014. Asas-Asas Hukum Perburuhan. (Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada).
Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).


Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011.

Disusun Oleh:


Teten Tajudin / 201010250226
Deni Firmansyah / 201010250123

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum
Universitas Pamulang
Edi Sofwan S.H.I.,M.H.
Dosen Metode Penelitian Hukum