ID ENG

Ngaku Pekerja Keras Tapi Nggak Pernah Bahagia, Lalu Tujuanmu Kerja Apa?

Tanggal Publish: 25/02/2019, Oleh: DPP FSB Garteks

Jepang salah satu negara termaju di benua Asia, khususnya dalam kemajuan peradaban teknologi. Salah satu kunci rahasia negara tersebut bisa maju karena budaya etos kerja masyarakatnya memang pekerja keras dan disiplin. Sayangnya, akibat menerapkan etos budaya pekerja keras dan disiplin yang dinilai berlebihan ternyata sangat berdampak dalam kehidupan sosial, kesehatan fisik dan jiwa.

Akibat dampak budaya kerja keras berlebihan di Jepang atau dikenal ‘karoshi’, berbagai media dari dalam dan luar negeri pun sering memberitakan fenomena kasus bunuh diri akibat depresi karena tekanan kerja. Berdasarkan laporan data di tahun 2016, khususnya di kota-kota besar di negara Jepang, orang yang bekerja setiap minggunya diatas 80 jam.  

Jadi tidak heran, ketika banyak pekerja di Jepang yang terhipnotis pola kerja karoshi, berdampak terhadap stres dan depresi yang berat. Bahkan, akibat tekanan kerja yang sangat tinggi, kasus kematian seperti bunuh diri, penyakit jantung sampai gangguan jiwa sudah bukan kejadian yang heboh lagi di Jepang. Akibat budaya kerja karoshi, negara Jepang pun, jumlah penduduknya selama 10 tahun ini mengalami penurunan.

Hal itu disebabkan, karena dampak kerja karoshi membuat seorang pekerja menjadi individual dan menjauhi kehidupan sosial. Sehingga tingkat populasi orag tua meningkat, sementara tingkat populasi orang muda semakin menyusut. Sebenarnya, pemerintah Jepang sudah terlalu gelisah melihat persoalan yang terjadi.

Pada tahun 2017, parlemen Jepang berupaya membahas mencari solusi untuk mengurangi kasus bunuh diri pekerja sebanyak 10 persen tiap tahunnya. Salah satunya, rencana kebijakan parlemen akan segera dikeluarkan dengan mengurangi budaya kerja 80 jam tiap minggunya. Kabinet pemerintah Jepang pun menyambutnya dengan baik. Sementara, gagasan pola kerja yang akan diterapkan kedepannya, Jepang akan menerapkan pola kerja 'slow live’ atau pola kerja yang seimbang dengan pola keseimbangan jiwa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Loughborough University Inggris, tahun 2015 lalu, menyimpulkan bahwa pola kerja dan tekanan yang berlebihan tidak akan menguntungkan seorang pekerja. Termasuk juga akan berimbas pada perusahaan tidak membawa keuntungan. Intinya, pola kerja yang berlebihan justru tidak akan menciptakan kebahagiaan, melainkan hanya melahirkan tingkat depresi terhadap pekerjanya.

Sementara, di Indonesia terutama di kota-kota besar, seperti kota Jakarta juga sudah terkena dampak pola kerja yang berlebihan setiap harinya. Ditambah lagi dengan jumlah kepadatan penduduk dan tingkat kemacetan kota Jakarta salah satu tertinggi diwilayah Asia, semakin banyak membuat pekerja di kantoran semakin stres.   

Tahun 2017 lalu, Perusahaan jasa penatu Zipjet dari luar negeri pernah melakukan riset masalah kota besar di dunia yang tingkat stress pekerjanya tertinggi di dunia. Hasilnya, Ibukota Jakarta berada di peringkat 18 dari 150 negara. Kesimpulannya juga tak jauh beda, bahwa Zipjet merilis hasil risetnya akibat tingginya tingkat stres yang dialami seorang pekerja justru sangat mempengaruhi kualitas perusahaan. Hal itu disebabkan karena pekerja kemerosotan kesehatan mental dan kualitas hidup akibat stres dan depresi.

Kurangi Jam Kerja                    

Berbeda pula dengan negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Seperti di kota Roma, Italia, justru negara tersebut sudah menerapkan pola hidup kerja ‘slow life’, dengan mengurangi jam kerja di kantor. Masyarakat pekerja di Roma sudah sadar, kondisi sistem kerja yang berlebihan tidak berdampak terhadap prestasi kerja. Intinya, mereka lebih memilih menolak porsi kerja berlebihan dan tekanan kerja. Tapi lebih memilih kualitas kehidupan sesuai profesional kerja.

Sementara di negara Swedia juga sudah banyak menerapkan pola kerja slow life. Tak heran, jika di negara tersebut sudah banyak perusahaan yang menerapkan kerja 6 jam kepada pekerjanya. Tentu saja jam kerja 6 jam itu sangat berbeda dengan jam kerja di Indonesia, yang rata-rata 7-8 jam sehari, diluar tambahan lembur. Alasan perusahaan di Swedia mengubah pola kerja 6 jam, ternyata berhasil. Sebab, tingkat tingkat kebahagiaan dan produktivitas perusahaan jauh lebih dibandingkan sebelumnya.

Begitu juga dengan negara Amerika Serikat. Sejak beberapa tahun ini, banyak perusahaan di negara itu yang mulai mengikuti pola perusahaan di negara Eropa. Pasalnya, beberapa lembaga riset di Amerika Serikat, menyampaikan bahwa akibat jam kerja yang berlebihan berdampak tingginya tekanan jiwa dan penyakit kronis. Selain itu, akibat menerapkan pola kerja yang berlebihan juga berdampak pada hubungan keluarga dan lingkungan sosial semakin renggang.

Salah satunya, Take Back Your Time, sebuah organisasi slow life di Amerika Serikat yang saat ini begitu gencar untuk mengkampanyekan pola kerja hidup bahagia. Mereka menganggap, pekerja di negara mereka semakin tahun tidak lagi menunjukan pola hidup yang sehat. Melainkan pola hidup serba ancaman penyakit, karena pola kerja yang serba penuh tekanan.  

John de Graaf, koordinator nasional Take Back Your Time, mengungkapkan kondisi pekerja di Amerika Serikat, khususnya di kota-kota besar pun semakin menurun melakukan aktivitas bergerak dan olah raga. “Mereka sudah tak ada waktu lagi melakukan aktivitas sosial dan olah raga, karena semuanya sudah disandera urusan kerja. Mereka pun sekarang sudah sangat rentan dengan gangguan mental dan berbagai penyakit yang mengancam kesehatan,” ungkapnya.

Intinya, pola kerja slow life bukan berarti memandang semua pekerjaan disikapi dengan bersantai ria. Namun budaya kerja slow life merupakan prinsip kerja yang dibangun dengan pola keseimbangan hidup untuk menghindari tekanan kerja. Sekaligus tujuan slow life adalah untuk mendapatkan kualitas kebahagiaan dari kerja. Sebab tujuan seorang manusia bekerja bukan mencari stress, melainkan kebahagiaan dari hasil jerih payah keringat. (AH/berbagai sumber)