ID ENG

Kehadiran Revolusi Industri 4.0 di Dunia Tekstil Bisa Mengancam Buruh

Tanggal Publish: 28/09/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Dalam sebuah acara seminar di Jakarta, Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan di era revolusi industri 4.0, bahwa prospek bisnis tekstil di Indonesia masih memiliki peluang yang baik untuk kedepannya. Terobosan baru yang akan diambil pemerintah dengan cara melakukan subsidi dana untuk membeli mesin alat produksi tekstil sesuai perkembangan jaman di era revolusi industri 4.0 yang bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI). Sehingga nantinya persoalan bisnis dalam industri tekstil yang masih sering terseok-seok, karena ada alasan klasik mesin tekstil yang lama terjawab dan bisa bangkit dan bersaing dengan negara lain.

“Kebutuhan pasar dalam negeri sendiri sudah sangat tinggi, tapi apa daya, untuk memenuhinya masih sulit. Industri tekstil masih ada persoalan alat mesin produksi tekstil masih memakai yang lama. Solusinya memang harus ada pembaharuan mesin produksi tekstil ditiap perusahaan sesuai standar mesin-mesin revolusi industri 4.0,” terangnya.

Ketika dunia kerja bersentuhan dengan revolusi industri 4.0, maka mau tidak mau seorang buruh harus berhadapan dengan teknologi digitalisasi, robotisasi dan otomatisasi. Segala alat produksi mesin-mesin lama tentu akan diganti dengan mesin modern. Lalu apa dampaknya, ketika mesin-mesin canggih nanti hadir di perusahaan tekstil? Pasti ada dampaknya. Disatu sisi, pengusaha akan diuntungkan dengan kehadiran mesin yang modern dalam perusahaannya, karena bisa menghemat waktu dan biaya operasional produksi.

Disisi lain, sudah pasti nantinya akan berdampak pada kebijakan pengurangan tenaga kerja. Karena, kehebatan mesin yang berbasiskan teknologi digitalisasi, robotisasi dan otomatisasi, mampu menggantikan tenaga manusia dalam perusahaan. Tak heran, transisi era revolusi industri 4.0, telah banyak menumbalkan perusahaan yang tutup dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran diberbagai sektor usaha. Bahkan, negara Jepang yang dikenal teknologinya sangat pesat pun juga terkena dampaknya terhadap perusahaan dan buruh dengan kehadiran revolusi industrialisasi 4.0.

Berdasarkan laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, jumlah tenaga kerja lulusan SMP sebanyak 21,72 juta orang atau 17,95 persen, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 21,13 juta orang atau 17,46 persen, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 12,59 juta orang atau 10,40 persen, Diploma I/II/III sebanyak 3,28 juta orang atau 2,71 persen dan Universitas sebanyak 11,32 juta orang atau 9,35 persen. Nah, mayoritas buruh yang bekerja di perusahaan tekstil selama ini rata-rata lulusan tingkat SMU/SMK dan SD, sehingga ancaman masuknya teknologi revolusi industrialisasi 4.0, ke perusahaan tekstil benar-benar mengancam pengurangan tenaga kerja.

Sebenarnya, Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) sudah berupaya mencari solusi terkait masalah kehadiran teknologi digitalisasi, robotisasi dan otomatisasi. Kepada wartawan, ketika diwawancarai, dia selalu menegaskan masyarakat tidak boleh menolak kehadiran teknologi revolusi industri 4.0. Dia menegaskan, hadirnya teknologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi, pasti ada dampak baik dan tidak baiknya terhadap dunia kerja.

Untuk mengantisipasi dampak PHK, Hanif menerangkan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) bersama kementerian lainnya sudah melakukan program vokasi (pelatihan), bagi calon angkatan muda kerja. Bagi yang buruh yang terkena dampak PHK, Hanif Dhakiri mengatakan juga membantu program vokasi dalam rangka meningkatkan kualitas keahlian dan ketrampilan tenaga kerja.

“Pemerintah sedang giat mengaktifkan Badan Latihan Kerja (BLK) di tiap provinsi dan kabupaten/kota. Ada 1000 BLK yang sedang dibangun denganmemperbaharui alat-alat pelatihan kerja yang berbasiskan teknologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi,” ujarnya, di kantor Kemnaker, Jakarta, berapa waktu lalu.

Dia juga tak membantah, akibat transisi teknologi revolusi industrialisasi 4.0, juga berdampak terhadap perusahaan di Indonesia. Sebagian mengalami kebangkrutan dan terjadi PHK besar-besaran. Berdasarkan analisa pemerintah, Hanif Dhakiri menjelaskan, pengusaha yang bangkrut akibat perusahaannya tidak cepat-cepat beradaptasi dan melihat peluang bisnis dari era teknologi revolusi industri 4.0.

Berdasarkan data riset dari lembaga McKinsley Global Institute (MGI), tahun 2016, memprediksi Indonesia berpeluang menjadi negara nomor 7 terkuat dalam perekonomian dunia. Tapi prediksi tersebut sangat bertolak belakang dengan fenomena tenaga kerja di Indonesia yang sampai sekarang ini masih mayoritas lulusan sekolah dasar (SD). Sementara, Indonesia sedang membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil dalam rangka menyambut bonus demografi 2030. (AH)