ID ENG

FSB Garteks KSBSI Terbitkan Buku Riset Studi Kasus Upah Padat Karya

Tanggal Publish: 21/10/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

DPP FSB Garteks KSBSI baru saja menerbitkan karya buku hasil riset tentang evaluasi penerapan upah minimum di Jawa Barat dan Banten, tentang kebijakan upah padat karya. Buku setebal 54 halaman tersebut, sangat gamblang menceritakan kronologis awal dari keluarnya surat keputusan (SK) Tentang Upah Minimum Padat Karya tahun 2017 yang diterbitkan Gubernur Jawa Barat, pada masa pemerintahan Ahmad Heryawan (Aher).


Intinya, penerapan upah padat karya khusus sektor garmen, tekstil dan sejenisnya yang diterapkan di Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi dan Purwakarta, sangat diskriminasi. Ironisnya, tak lama setelah keluarnya SK Tentang Upah Minimum Padat Karya, di Jawa Barat, di wilayah provinsi Banten pun juga akhirnya menerapkan kebijakan yang serupa. Tentunya, kebijakan upah yang dinilai sangat tak layak bagi buruh sektor garmen, tekstil dan sejenisnya itu langsung pasrah menerimanya. Berbagai aksi sikap protes dan demo pun dilakukan pada waktu itu.


Namun apa daya, sang penguasa yang diberi kewenangan kebijakan ternyata tak menggubris suara buruh yang menolak kebijakan upah minimum padat karya. Salah satunya, FSB Garteks KSBSI salah satu serikat buruh yang paling vokal menentang kebijakan upah minimum padat karya. Alasan menolak sangat jelas, karena kebijkan tersebut tidak sejalan dengan sistem pengupahan sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) yang sudah ditetapkan pemerintah.


Waktu itu, Ary Joko Sulistyo, Ketua Umum DPP Garteks KSBSI menegaskan bahwa kebijakan upah padat karya merupakan kebijakan upah minimum padat karya hanya akal-akalan penguasa dan pengusaha. Pasalnya, setelah dilakukan pengkajian lebih dalam, SK Upah Minimum Padat Karya, gubernur Jawa Barat banyak melanggar tentang regulasi UU Ketenagakerjaan, baik dari Pasal 88 ayat (1), ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah atau PP No. 78 tahun 2015, Tentang Pengupahan dan juga telah melanggar pasal 5, pasal 10 ayat UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan AUPB).


“Akibat kebijakan Upah Minimum Padat Karya yang mengacu pada fakta empiris justru hanya merugikan buruh di sektor industri garmen dan pakaian, karena ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) makin marak terjadi,” bebernya.


Dikatakannya juga, SK upah minimum padat karya juga menyalahi kebijakan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Akhirnya, langkah gugatan hukum pun ditempuh tim hukum FSB Garteks KSBSI. Singkatnya, tanggal 17 Oktober 2017, FSB Garteks KSBSI mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait kebijakan SK Gubernur Nomor: 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 Tentang Upah Minimum Industri Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen di Kabupaten Bogor Tahun 2017 tertanggal 28 Juli 2017.


Setelah melewati proses persidangan yang panjang, PTUN Bandung akhirnya menghasilkan keputusan yang memuaskan. Tanggal 01 Februari 2017, Majelis Hakim PTU Bandung memutuskan keadilan yang berpihak pada buruh. Dari putusan atas gugatan FSB Garteks KSBSI dibacakan pada sidang oleh Majelis Hakim, dengan Nomor Putusan 133/G/2018/PTUN.BDG, dalam amar putusan dan eksepsi memutuskan Majelis Hakim menolak eksepsi pihak tergugat untuk seluruhnya.

Dalam pokok perkara, Majelis Hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Terkait keputusan Gubernur Jawa Barat No. 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum Industri Padat Karya di daerah Kabupaten Bogor Tahun 2017, Majelis Hakim juga menyatakan batal dan tidak sah. Selanjutnya, Mejelis Hakim memutuskan untuk mewajibkan pihak tergugat mencabut Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum Industri Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen di daerah Kabupaten Bogor Tahun 2017 bertanggal 28 Juli 2017. Dan keputusan terakhir menghukum pihak tergugat untuk membayar biaya perkara.


Dalam acara konferensi pers, Trisnur Priyanto, sebagai ketua kim hukum, menjelaskan gugatan hukum upah padat karya ke Gubernur Jawa Barat merupakan yurisprudensi buat aktivis buruh di Bogor dan daerah lain dalam penentuan upah buruh. Atau bisa dikatakan sebagai pembelajaran hukum, agar buruh tidak bisa diperlakukan semena-mena oleh penguasa dan pengusaha.


Trisnur juga menyampaikan, setelah memenangkan gugatan melawan SK upah minimum padat karya, langkah selanjutnya melayangkan surat kepada Gubernur Jawa Barat, setelah 14 hari putusan dibacakan. Jika pihak gubernur Jawa Barat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), maka akan di ladeni. Karena pertempuran belum selesai. Tegasnya, dia mengatakan justru kemenangan yang baru dicapai baru awal untuk langkah hukum selanjutnya. (AH)