ID ENG

Alasan Upah Tinggi, Dua Perusahaan Garmen Kota Bogor Gulung Tikar

Tanggal Publish: 29/09/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Walikota Kota Bogor, Bima Arya, mengatakan dua perusahaan garmen diwilayahnya dalam waktu dekat ini akan tutup. Kepada wartawan, dia menjelaskan alasan perusahaan garmen yang bakal tutup itu dikarenakan upah yang terlalu tinggi diberikan kepada buruh. Pengusaha garmen juga beralasan, bisnis di sektor garmen belum stabil, ditambah lagi biaya operasioal perusahaan yang tinggi. Sehingga, keuntungan dan pengeluaran tidak seimbang.


“Perusahaan garmen yang mengatakan tutup memilih pindah ke kawasan industri di Jawa Tengah. Alasan pengusaha merelokasi ke wilayah Jawa Tengah, katanya lebih efisien dan biaya upah buruh tidak terlalu tinggi,” ucapnya, di Balai Kota Bogor, Jumat kemarin, 29 September 2018.


Tentu saja, ketika perusahaan menyatakan gulung tikar, maka terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Bima Arya menjelaskan, setelah melakukan pertemuan Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKST), antara pengusaha, perwakilan pemerintah dan buruh, akhirnya tercatat ada 1500 buruh yang akan terkena PHK. Dia juga sudah memerintahkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Kota Bogor, untuk segera menyelesaikan persoalan kasus PHK yang terjadi.
Dia mengakui, di era kepemimpinannya, buruh memang vokal menuntut upah yang layak. Disatu sisi, sebagai orang nomor satu di Kota Bogor, dia harus menampung aspirasi buruh tentang tuntutan mereka yang realistis. Tapi, disisi lain, dampak kebijakan upah dianggap menjadi dilema bagi pengusaha garmen. Pasalnya, pengaruh krisis global yang terjadi hingga saat ini, berdampak pada biaya produksi perusahaan.


“Pasca penyelesaian kasus PHK, kami juga harus mencari solusi lapangan kerja dan wirausaha sejenis UMKM, agar tingkat kriminal tidak meningkat,” ungkapnya.


Dalam keterangannya, Bima Arya juga akan segera melakukan evaluasi persoalan perusahaan industri garmen. Agar perusahaan tidak banyak keluar dari Kota Bogor, dia mewacanakan agar wilayahnya memiliki kawasan industri tersendiri sesuai standar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sekarang sedang tahap revisi. Memang, untuk menyediakan lahan industri menjadi tugas yang berat. Apalagi, jumlah kepadatan penduduk kota Bogor semakin tahun terus meningkat.


Untuk mewujudkannya, memang perlu dukungan jaminan dari semua lembaga pemerintah. Karena selama ini pelaku usaha industri memang ingin mendapat jaminan yang pasti. Sehingga ketika ada persoalan upah, tidak lagi menyelesaikan serumit yang sedang diselesaikan. Ditambah lagi, sumber daya manusia (SDM), dari tingkat SMU/SMK dan Universitas di Kota Bogor terbilang unggul dan berkualitas.

Selain itu pengusaha industri ingin adanya jaminan perlindungan dari Pemkot Bogor terkait keberadaan industrinya agar bisa dipertahankan di tengah misi Kota Bogor yang sedang mengarah menjadi kota jasa.
“Perusahaan industri jangan sampai stagnan dan ditinggalkan, sebaliknya harus bisa dipertahankan dan di kembangkan mengingat jumlah tenaga kerja setiap tahunnya akan semakin banyak,” jelasnya.

Krisis Berkepanjangan

Berdasarkan keputusan terakhir bulan November 2017, kenaikan upah minimum kota (UMK) di Kota Bogor, disepakati naik menjadi 8,71 persen, atau gaji kenaikan buruh yang akan diterima untuk tahun 2018 sebesar Rp. 3.599.357. Kesepakatan kenaikan UMK, diputusakan secara bersama-sama antara Apindo, Pemerintah Kota Bogor, Serikat buruh dan Akademisi. Kesepakatan kenaikan upah buruh di Kota Bogor juga mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, UMK Kota Bogor menjadi Rp 3.557.146 pada 2018.


Bangkitnya bisnis garmen dari ketrepurukannya memang masih ditunggu. Tahun 2017 kemarin, dikabarkan 100 ribu buruh/pekerja garmen di Jawa Barat terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pihak perusahaan. Waktu itu, Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri, menjelaskan ada 89 perusahaan di Jawa Barat mengatakan tidak sanggup membayar gaji buruh sesuai upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang naik sebesar 30 persen. Terlebih lagi, gaji upah buruh yang terancam PHK itu masuk kategori padat karya.

Alasan pengusaha tak sanggup membayar gaji buruh/pekerja, disebabkan karena ada kesalahan prediksi ketika awal tahun melakukan survei kebutuhan hidup (KHL). Lanjutnya, dia mengatakan akan segera mencari solusinya bersama Pemprov Jawa Barat. Pasalnya, kalau persoalan gaji buruh Garmen di Jawa Barat tidak cepat diselesaikan, pasti akan menimbulkan ancaman persoalan PHK baru.

“Dibeberapa tempat di Kabupaten Jawa Barat, ada 89 perusahaan Garmen yang mengatakan perusahaan tak mampu membayar upah buruh/pekerja. Kalau masalah upah buruh ini tak diselesaikan, diperkirakan 100 ribu mengalami PHK. Ini kan bisa menambah masalah,” ucap Hanif Dhakiri, didampingi Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, tahun 2017 lalu.

Adapun 89 perusahaan di Jawa Barat yang menyatakan tidak mampu membayar gaji buruh itu, berada di Bekasi, Depok, Bogor dan Purwakarta. Salah satu solusinya, untuk menyikapi ancaman PHK itu, Hanif mengatakan sudah melakukan mediasi pertemuan perwakilan serikat buruh/pekerja dan perwakilan pengusaha untuk mencari jalan keluarnya.

Dirinya juga berharap, perusahaan Garmen yang sedang mengalami keterpurukan terus melakukan produksi. Pihaknya, dari Kementerian Tenaga Kerja akan terus menjadi mediasi perundingan-perundingan dengan pihak serikat buruh dan pengusaha untuk mencari solusinya. Hal itu disebabkan, karena perusahaan Garmen merupakan perusahaan yang merekrut banyak buruh, sehingga kalau terjadi PHK akan menambah masalah baru. (AH/Red)