ID ENG

YLBHI: Tahun 2018 Pengaduan Kasus Perburuhan Sangat Tinggi

Tanggal Publish: 09/01/2019, Oleh: DPP FSB Garteks

Berdasarkan catatan akhir tahun 2018 yang disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tahun  kemarin YLBH yang memiliki perwakilan 15 kantor dibeberapa kota telah menerima 3.455 pengaduan kasus. Dari semua laporan pengaduan kasus yang diterima YLBHI, kasus perburuhan yang paling tertinggi.   

Dalam keterangan pers yang disampaikan Asfinawati, Direktur YLBHI, dia mengatakan perburuhan itu tak jauh beda dengan pihak perusahaan swasta. Seperti kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, masalah kriminalisasi dan pemberangusan serikat  buruh dan upah tidak layak, menghilangkan hak cuti dan istrahat dan kondisi kerja tidak adil.

“Sebagian besar kasus perburuhan masih ditangani YLBHI. Sementara, kasus perburuhan yang paling tinggi yang kami tangani ada di wilayah Indonesia bagian tengah,” ucap Direktur YLBHI, dalam acara Konferensi Pers dan peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu), di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa kemarin, 8 Januari 2019.

Terkait tingginya kasus perburuhan, tahun kemarin, YLBHI juga meluncurkan hasil buku riset yang berjudul  ”Kebalnya Sang Pemodal” yang diterbitkan oleh Pengacara LBH Jakarta. Dimana, dalam buku riset itu mengulas praktik PHK sepihak dan pemberangusan serikat buruh yang masih tinggi di era reformasi. Mirisnya lagi, ditengah semena-menanya oknum pengusaha nakal yang melakukan kebijakan terhadap buruh, justru pengusaha nakal itu ada kesan bermain mata dengan oknum birokrasi pemerintah untuk memenangkan perkara ketenagakerjaan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Mirisnya lagi, ketika pemerintah gencar mengundang investor asing membuka perusahaan di Indonesia, semakin banyak pula kesan peraturan hukum yang dibuat untuk memudahkan bisnis para investor. Untuk peraturan hukum kepada buruh juga banyak dibuat pemerintah, tapi peraturan itu justru semakin mengekang dan  tidak berpihak pada keadilan.

Contohnya, keluarnya kebijakan PP No. 78 Tahun 2015, yang dikeluarkan negara merupakan paket kebijakan ekonomi yang benar-benar menguntungkan pengusaha, tapi merugikan bagi buruh. Kemudian, watak dan karakter aparat penegak hukum Indonesia dalam menyelesaikan kasus ketenagakerjaan juga belum professional. Karena minim menguasai UU No 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya, selama dia melakukan bantuan advokasi buruh yang bermasalah dalam perusahaan, juga banyak ditemukan unsur-unsur kasus pelanggaran pidana yang dilakukan pengusaha  terhadap buruh.

Ditambah lagi, ketika aktivis serikat buruh melaporkan ke aparat hukum ke pihak Kepolisian dan Kementerian Tenaga Kerja (PPNS Kemnaker) justru kasus unsur pidana itu dilempar kesana-kesini dan jarang diselesaikan. Ilhamsyah menegaskan, akibat banyaknya mental aparat hukum yang bobrok dalam penanganan kasus pidana ketenagakerjaan, hukum semakin tumpul ke atas, tajam ke bawah. (AH)