ID ENG

Sekjen DPP FSB GARTEKS KSBSI: Dibalik PHK Massal, Pemerintah Masih Lemah Melawan Investor Nakal

Tanggal Publish: 25/10/2024, Oleh: DPP FSB Garteks

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal masih marak terjadi. Hampir setiap hari, lewat pemberitaan media, perusahaan tutup dan melakukan PHK kepada pekerjanya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Tenaga Kerja RI, angka PHK di September 2024, hampir menembus 53 ribu kasus. Angka tersebut merupakan jumlah kumulatif yang ditarik sejak Januari 2024.

Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil laporannya, bahwa Kota Jakarta menjadi provinsi ke-4 jumlah pengangguran tertinggi, dengan persentase sebesar 6,03 persen. Dimana, 6 dari 100 angkatan kerja di Jakarta staatusnya pengangguran, tidak terserap lapangan pekerjaan.

Ary Joko Sulistyo Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB GARTEKS KSBSI), mengatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak sekarang ini harus disikapi serius oleh pemerintah. PHK massal dan perusahaan tutup ini alasannya karena resesi global.

“Ribuan buruh yang ter-PHK sekarang ini, khususnya di wilayah Jabodetabek, Karawang Jawa Barat dan Banten banyak terjadi di industri manufaktur. Seperti buruh yang bekerja di pabrik garmen, tekstil dan alas kaki (TGSL),” ucap Ary Joko, saat diwawancarai di Cipinang Muara Jakarta Timur, Jumat (25/10/2024).

Ary menjelaskan, buruh yang bekerja di industri manufaktur itu memang sektor padat karya. Dimana 1 pabrik garmen menyerap lebih dari 1000 tenaga kerja. Jadi, ketika saat ini banyak buruh di sektor garmen, tekstil dan alas kaki yang ter-PHK, tentu menjadi persoalan baru ditengah masyarakat. Dan dia mempertegas, fenomena PHK massal buruh di sektor TGSL ini sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19.

“PHK massal sebelum wabah pandemi Covid-19 itu memang sudah terjadi. Alasan PHK, karena banyak pengusaha yang melakukan relokasi dari wilayah Jabodetabek, Karawang Jawa Barat dan Serang Banten ke Jawa Tengah. Sebab, wilayah Jawa Tengah memang sudah menjadi wilayah industri dan upah buruhnya terbilang masih rendah,” ungkap Ary Joko.

Ary Joko menjelaskan, relokasi pabrik sektor TGSL tak hanya di Jawa Tengah. Pengusaha juga melakukan relokasi ke wilayah pinggiran Jawa Barat. Seperti di Kabupaten Cirebon, Garut dan Tasikmalaya. Dimana upah buruh dibeberapa daerah di Jawa Barat tersebut terbilang rendah. Nah, ketika Indonesia ikut terkena dampak krisis ekonomi global akibat pandemi Covid-19 pada 2021, PHK massal pun bertambah.

Selain itu, kata Ary Joko, persaingan bisnis ekonomi antar negara juga menyebabkan dampak terjadinya PHK massal di Indonesia. Hal ini, karena pemerintah Indonesia dinilainya tidak mampu bersaing dengan negara maju seperti Cina di industri manufaktur. Contohnya, di Negara Cina, pemerintahnya sangat mendukung pengusahanya dalam memajukan industri manufaktur.

“Pemerintah Cina terlibat untuk memberikan peremajaan mesin modern di industri manufaktur serta memperkuat Sumber Daya manusia (SD). Jadi tak heran, sekarang ini pabrik TGSL milik investor Cina didukung mesin canggih dan unggul dalam bersaing. Sementara, pabrik TGSL milik pengusaha Indonesia sangat minim diperhatikan pemerintah, sehingga kalah dalam bersaing dan pabriknya tutup,” jelasnya.

Tidak Manusiawi

Ary Joko juga mengatakan ketika Indonesia menghadapi badai PHK massal, pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan kepada pelaku usaha dan buruh/pekerja. Dengan memberikan kemudahan jaminan modal usaha kepada pengusaha yang terdampak resesi global. Agar korban PHK berkurang dan pengusaha bisa melanjutkan usahanya.

“Kalau pemerintah tidak memperhatikan nasib pelaku usaha sektor TGSL sekarang ini, maka kondisi perekonomian Indonesia bisa semakin ambruk. Sebaiknya pemerintah harus menurunkan kenaikan pajak kepada pengusaha dan buruh, supaya situasi ekonomi tidak semakin sulit,” imbuhnya.     

Terkait Jawa Tengah saat ini sudah menjadi wilayah industri, namun upah murah yang diterima buruh masih terbilang rendah di Indonesia. Ary Joko mengkritik pemerintah dan seharusnya sudah dibuat kebijakan baru untuk kenaikan upah yang layak. Dalam hal ini, ia menilai pemerintah telah membuat kebijakan yang tidak manusiawi dengan kebijakan upah murah kepada buruh di Jawa Tengah.

“Kalau untuk kepentingan investor di Jawa Tengah, pemerintah selalu membuat keistimewaan kepada pengusaha,” lugasnya.

Menurut Ary Joko kasus PHK massal yang marak terjadi saat ini alasan utamanya bukan karena dunia sedang dilanda resesi global. Ia beralasan, pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan ekonomi dunia juga sudah berakhir. Namun alasan yang tepat adalah karena sekelompok oligarki memang ingin memonopoli perekonomian Indonesia, melalui kebijakan investasi.

“Sehingga pemerintah kalau melawan, maka Indonesia terancam ditinggalkan investor karena menolak keinginan kelompok oligarki ini,” pungkasnya.

Beda seperti di negara Cina, pemerintahnya sangat mengontrol ketat kelompok oligarki. Kalau ada pengusahanya yang nakal dan melakukan pelanggaran, maka diberi sanksi yang tegas. Sementara, ketika investor nakal dari Cina itu datang ke Indonesia justru disambut dengan baik.

“Sampai hari ini pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan proteksi secara ketat kepada investor nakal yang masuk ke Indonesia. Sehingga, ketika terjadi persoalan di Indonesia, mereka dengan mudahnya meninggalkan negara ini. Akhirnya buruh menjadi tumbal korban PHK dan pesangonnya tidak diberikan,” ucapnya.

Indonesia sudah merdeka 79 tahun, namun nasib buruh masih jauh dari standar hidup sejahtera. Karena itu, ia mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran bisa membuat terobosan baru di bidang ketenagakerjaan. “Investor nakal itu yang sering membuat perekonomian Indonesia jalan ditempat, bukan persoalan buruh,” tutup Ary Joko. (Andreas Hutagalung)