ID ENG

Peringati International Women’s Day 2023, KSBSI Sikapi Secara Kritis RUU KIA

Tanggal Publish: 08/03/2023, Oleh: DPP FSB Garteks

Pada momen hari International Women’s Day 2023, yang setiap tahun diperingati pada 8 Maret, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menyampaikan sikap kritis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak. Pasalnya, bagi aktivis serikat buruh, ada beberapa pasal dari RUU ini dinilai sangat krusial. Sehingga bisa berpotensi menciptakan kegaduhan politik. Karena RUU KIA ini dinilai saling tumpeng tindih dengan regulasi ketenagakerjaan.   

Dalam konferensi pers resmi yang dilakukan KSBSI, di Cipinang Muara Jakarta Timur, KSBSI menilai Masalah nyata pada stunting/gizi buruk bukan hanya badan yang pendek. Tapi pengaruhnya terhadap kemampuan otak. Stunting, sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat dari gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.

Kemudian, seorang anak dianggap kerdil jika berat badannya tidak sesuai dengan umur  dan  tinggi badannya berada 2 standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Berdasarkan estimasi UNICEF, ada 31,8 persen anak stunting di Indonesia, sehingga meraih predikat sangat tinggi. Indonesia menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% di tahun 2024.

Saat mendengar lahirnya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, KSBSI sangat mengapresiasi. RUU ini juga mampu menurunkan angka stunting di Indonesia. Namun  KSBSI melakukan kajian norma-norma yang diatur dalam RUU KIA, ternyata masih jauh dari harapan untuk  menurunkan angka stunting.

Bahkan, menurut KSBSI  RUU KIA tidak mengatur secara jelas dan tegas atas hal-hal yang dimuat dalam pasal-pasal. Hal ini terlihat pada ketentuan umum yang tidak mengatur secara detail terkait dengan difinisi dan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal yang ada di RUU KIA.

Kemudian RUU ini juga tumpeng tindih dan bertentang dengan perarturaran perundang-undangan lainya yang belaku saat ini.  Dalam pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur cuti melahirkan selama 3 bulan. Sedangkan dalam pasal 4 ayat 2, RUU  ini mengatur cuti melahirkan selama 6 bulan. Perlu diingat  regulasi Cipta Kerja telah menciptakan hubungan kerja kontrak yang setiap waktu, setiap bulan atau setiap tiga bulan  pengusaha dapat menyatakan kontrak/PKWT berakhir.

Karenanya setiap kali  perempuan pekerja  hamil, pengusaha dapat melakukan PHK. Kesimpulannya, regulasi ini hanya akan mengurangi kesempatan kerja berkelanjutan bagi perempuan. KSBSI menjadi bertanya kritis, apakah narasi besar memberi perlindungan kepada perempuan pekerja melalui pemberian cuti melahirkan 6 bulan hanya sebatas propaganda politik menjelang Pemilu 2024?

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial (PPHI) telah mengatur mekanisme dalam Lembaga penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha melalui bipartite, mediasi dan pengadilan hubungan industrial sampai kasasi ke Mahkamah Agung.

Sementara pasal 5 ayat 3 RUU ini mengatur bahwa apabila ibu bekerja tidak mendampatkan haknya maka mekanisme penyelesainya dilakukan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Demikian juga terkait pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai pasal  8, RUU ini. Hal tersebut akan berbenturan dengan yang dilakukan oleh pengawas di bidang ketenagakerjaan yang berada di  kementerian ketenagakerjaan dan dinas tenagakerja propinsi di setiap wilayah.

RUU ini juga cenderung melegitimasi  peran domestic berbasis gender terhadap perempuan.  Hal ini terlihat pada pasal  4 ayat (1) huruf i; Pasal 4 ayat (2) huruf d.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas pada peringatan hari perempuan sedunia tanggal 8 Maret 2023, KSBSI menyampaikan rekomendasi atas terbitnya RUU KIA sebagai berikut:

  1. RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) seharusnya lebih fokus mengatur tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Terkait dengan Ibu bekerja biarlah diatur dalam peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.
  2. Apabila Pemerintah serius ingin memberikan perlindungan terhadap perempuan (ibu bekerja) sebaiknya pemerintah meratifikasi konvensi ILO 183 tentang perlindungan maternitas.
  3. DPR RI dan pemerintah harus melibatkan partisipasi public dalam pembahasan RUU ini, sehingga hal-hal yang diatur menjadi jelas, tidak tumpeng tindih dan tidak saling bertentangan dengan UU yang lainnya.

Pernyataan sikap sikap siaran pers ini langsung dibawah tanggung jawab Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSBSI, Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI, Dedi Hardianto Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSBSI, bersama perwakilan Federasi Serikat Buruh (FSB) yang berafiliasi dengan KSBSI. (AH)