ID ENG

Pendapat Ketum FSB GARTEKS KSBSI Tentang Isu Kampanye Ketenagakerjaan di Pilpres 2019

Tanggal Publish: 25/01/2019, Oleh: DPP FSB Garteks

Ary Joko Sulistyo, aktivis pergerakan buruh yang juga Ketua Umum DPP FSB GARTEKS KSBSI, mengatakan dalam menyikapi isu visi dan misi kampanye ketenagakerjaan dan lapangan kerja  oleh Capres-Cawapres di Pilpres 2019, harus disikapi dengan cermat. Pasalnya, persoalan lapangan kerja salah satu persoalan utama yang harus diselesaikan oleh bangsa ini. Sebab, mayoritas masyarakat Indonesia sampai hari ini profesinya pekerja formal dan informal.

Dia menilai, hampir lima tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) menjabat presiden dinilainya cukup peduli terhadap dunia lapangan kerja. Contohnya, Jokowi sudah kejar target membangun program infrastruktur jalan, bandara udara dan pelabuhan sampai ke pelosok daerah. Dimana, tujuan pembangunan infrastruktur nantinya akan tercipta lapangan kerja, dengan mengundang investor masuk ke wilayah itu membuka perusahaan.

“Memang program infrastruktur yang dibangun diberbagai daerah belum bisa dinikmati dalam waktu dekat ini. Tapi dampaknya akan terlihat untuk lima atau sepuluh tahun kedepan,” terangnya, ketika diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Lanjutnya, kalau nantinya pembangunan infrastruktur dan target investor masuk ke berbagai daerah, maka arus urbanisasi ke pulau Jawa termasuk wilayah Jabotabek yang selama ini dikenal sebagai pulau industri akan berkurang jauh. Nantinya, bagi lulusan tingakt SMA/SMK dan Universitas akan memilih kerja diwilayahnya masing-masing, tidak perlu lagi ke pulau Jawa. Sehingga keseimbangan jumlah penduduk di tiap pulau pun terwujudkan.

“Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen dan didukung pembangunan infrastrutur maka penyerapan angkatan kerja nantinya akan dibutuhkan 2 juta lebih tiap tahunnya. Memang penyerapan angkatan kerja sebesar 2 juta lebih itu belum maksimal. Tapi ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi semua presiden yang terpilih nantinya untuk diselesaikan,” terangnya.

Baginya menegaskan siapa pun presiden yang terpilih nanti tidak lagi membiarkan nasib angkatan kerja diberi upah murah. Namun upah harus berdasarkan sesuai tingkat keahliannya, agar upah buruh/pekerja tidak lagi murah. Oleh sebab itulah, dia tak membantah, penyebab upah murah itu karena daya saing dan tingkat keahlian angkatan kerja Indonesia di era revolusi teknologi industri 4.0 masih kalah saing dengan negara lain.

Dia menyarankan agar presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti harus menggiatkan program pelatihan (vokasi) untuk meningkatkan keahlian, termasuk diwilayah industri yang baru dibuka pemerintah. Karena, Indonesia sekarang ini dikabarkan masuk 10 besar negara yang dilirik investor asing.

“Kalau nantinya investor asing itu masuk dan membuka lapangan kerja namun tenaga kerja lokal kita dibayar upah murah, ini kan sangat dilematis. Tapi kalau seluruh komponen lembaga pemerintah jauh-jauh hari sudah mempersiapkan program vokasi, saya yakin bangsa kita tidak kalah daya saing dengan negara lain,” tandasnya.

Intinya, ketika ditanya pada pilihan realistis siapa capres-cawapres yang layak memimpin Indonesia kedepannya, dia mengatakan secara pribadi pasangan Jokowi-Ma’aruf masih layak. Dia menjelaskan, kenapa memilih pasangan tersebut, karena sudah terlihat kerja nyatanya membangun infrastruktur dan lapangan kerja, walau semuanya belum sempurna. Sementara, pasangan Prabowo-Sandi, belum terlihat karena masih tahap perencanaan kampanye. Ditambah lagi, Prabowo pun selama ini belum pernah duduk di birokrasi pemerintahan sipil, sehingga belum ada kerja nyata dilihat masyarakat.

“Tapi saya lihat, visi dan misi kampanye kedua capres-cawapres ada keberpihakan kok kepada masyarakat masalah isu ketenagakerjaan. Ini kan masalah urusan kerja nyata, karena karakter pilihan buruh itu selalu realistis. Tapi semua pilihan itu diserahkan kepada masyarakat,” ungkapnya.

Perlu Dikritisi        

Namun walau pilihan politiknya kepada pasangan Jokowi-Ma’aruf, dia juga menegaskan FSB GARTEKS KSBSI tetap bersikap kritis di era pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, ada juga kebijakan Jokowi yang dinilai belum berpihak kepada kesejahteraan buruh. Seperti, kebijakan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan, dinilainya pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dari pada buruh.

Untuk itulah, Ketum FSB GARTEKS KSBSI berharap, agar kedepannya PP No. 78 Tahun 2015 perlu direvisi kembali, karena keluarnnya PP tentang pengupahan itu sangat kontradiktif. Selain itu, ada juga kebijakan “Upah Padat Karya” yang sangat merugikan buruh di sektor garmen. Upah padat karya sifatnya sangat diskriminasi, karena upahnya dibawah upah buruh minimum secara umum dan sudah melanggar UU Ketenagakerjaan.  

Termasuk persoalan sistem kerja outsourching (kerja kontrak) yang masih terjadi dari masa pemerintahan ke pemerintahan era reformasi, Ary Joko Sulistyo juga berharap presiden kedepannya bisa menghapuskan praktik outsourching sangat merugikan buruh. Dia menyarankan, bagi seorang buruh/pekerja yang memiliki keahlian dan sudah bekerja beberapa tahun sebaiknya diberi penghargaan menjadi pekerja tetap.

“Atau tepatnya, produk undang-undang yang mengatur masalah outsourching segera direvisi. Karena konsep kerja kontrak itu kalau diluar negeri sifatnya berlaku untuk pekerja konsultan yang memiliki keahlian bukan pekerja formal yang bekerja dalam perusahaan,” tuturnya.

Kemudian ada juga kebijakan yang akan mengancam demokrasi bagi buruh dalam waktu dekat ini, karena ada kebijakan dari pemerintah yang akan mengeluarkan “Zona Protection”  dengan melarang buruh melakukan aksi unjuk rasa diwilayah perusahaan industri. Ary Joko Sulistyo beranggapan, kalau kebijakan itu hanya beralasan untuk menciptakan suasana yang kondusif, itu tidak masuk akal, selama buruh melakukan aksi demo dengan tertib dan mengikuti peraturan jadi tidak ada yang dirugikan.

“Bagi kami kalau wacana itu diterapkan, pasti akan membunuh demokrasi dan hak berpendapat. Karena posisi serikat buruh adalah parlemen jalanan, jadi kami sangat menolak kalau zona protection diberlakukan. Ya kalau ingin suasana kondusif, maka pemerintah harus mendengar aspirasi buruh, bukan membuat aturan yang mengekang demokrasi,” tutupnya. (AH)