ID ENG

Memperjuangkan Kesetaraan Gender Menjadi Keharusan Dalam Serikat Buruh

Tanggal Publish: 27/09/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Kesetaraan Gender merupakan sejarah perjuangan gerakan kaum perempuan yang panjang dalam perjalanannya. Inti dari gerakan kesetaraan gender sebenarnya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sosial, seperti dalam urusan politik, hak azasi manusia (HAM), pendidikan dan demokrasi. Jika melihat perjuangan kesetaraan gender yang ada di Indonesia sekarang ini, mungkin sudah terbilang banyak mengalami kemajuan.


Sebagai contoh, di era reformasi, perempuan juga lebih mempunyai kebebasan berpendapat dan berpolitik. Karena perempuan diberikan wewenang mempunyai jatah 40 persen duduk sebagai wakil rakyat. Selain itu, partisipasi dan kemajuan perempuan dalam kepemimpinan didalam organisasi sosial semakin hari semakin terlihat nyata. Namun dibalik kemajuan gerakan perempuan Indonesia dalam kepemimpinan, ternyata masih banyak cerita yang menyedihkan. Pasalnya, sampai saat ini, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan masih banyak terjadi. Kesadaran hukum untuk membela hak-haknya, ketika perempuan mengalami kasus kekerasan dan pelecehan seksual juga masih kerap terjadi. Salah satunya, buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perusahaan sangat rentan terhadap berbagai macam kekerasan dan pelecehan seksual.


Ironisnya, ditengah banyaknya berbagai macam kasus kekerasan masih banyak korban yang masih menutupinya. Terlebih lagi, ketika korban ingin mengungkapnya ke jalur hukum juga masih jarang, karena dianggap masih dianggap tabu dan aib terhadap keluarganya. Untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender, DPP FSB Garteks KSBSI, mengadakan “Training On Gender Based Violence”. Acara pelatihan didukung Industri All, IFSI-ISVI, tanggal 25 September 2018, di Griya Hotel, Cisarua, Jawa Barat.


Sebagai pemberi materi pelatihan, Elly Rosita Silaban (DEN KSBSI), menjelaskan referensi tentang sejarah perjuangan kesetaraan gender sudah banyak informasinya diberbagai media. Salah satunya gerakan feminis dalam menuntut kesetaraan gender yang dimulai dari Amerika Serikat, sekitar tahun 1800-an. Kaum perempuan di Amerika Serikat pada saat itu mengalami titik puncak melakukan perlawanan terhadap laki-laki yang sifatnya patriarki dan selalu merendahkan hak-hak perempuan dalam pendidikan, hak politik, demokrasi dan ekonomi.


Pada tahun 1878, gerakan perempuan feminis di Amerika Serikat pun sudah melakukan perjuangan penentangan minuman keras dan selanjutnya gencar menuntut hak-hak pendidikan yang setara. Karena dalam urusan demokrasi, perempuan di Amerika Serikat sebelum tahun 1920, tidak mempunyai hak suara dalam pemilu. Singkatnya, perjuangan yang panjang itu akhirnya bisa dinikmati oleh perempuan Amerika Serikat, karena penghormatan kesetaraan gender sangat dihormati di negara tersebut.


Elly juga menerangkan gerakan feminis juga berhasil memperjuangkan ke PBB pada tahun 1967, untuk melakukan deklarasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang dinamakan deklarasi CEDAW (Conventiopn on Thr Elimination of All From of Discrimination against women). Kemudian pada tahun 1979 di ratiifikasi di Indonesia dalam UU RI No.7 Tahun 1984 (Pengesahan Konvensi) dan Adopdsi CEDAW pada 24 Juli tahun 1974.
Nah, jika melihat sejarah gerakan feminis di negri ini, Indonesia juga memiliki seorang perempuan yang dikenal RA Kartini. RA Kartini dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita yang sangat konsisten memperjuangkan persamaan hak pendidikan terhadap laki-laki di masa penjajahan Belanda.


“Perjuangan RA Kartini dimasa penjajahan Belanda, telah banyak menanamkan benih kepemimpinan perempuan. Karena dia mendorong pendidikan perempuan juga harus mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Akhirnya perjuangannya bisa dinikmati perempuan Indonesia sekarang ini,” tandasnya.


Untuk urusan perjuangan kesetaraan gender dalam perusahaan, Elly juga mendorong pengurus dan anggota perempuan yang bergabung FSB Garteks KSBSI, agar mempunyai motivasi menjadi seorang pemimpin. Walau perkembangan kepemimpinan perempuan Indonesia sudah cukup pesat, bagi Elly dia masih melihat di internal aktivis perempuan serikat buruh, masih ada sebagian anggotanya kurang percaya diri untuk maju menjadi pemimpin dalam organisasinya.


Terlebih lagi, persoalan diskriminasi karir kerja, kekerasan dan pelecehan seksual sering menimpa kaum perempuan dalam perusahaan dan selama ini masih jarang terbongkar ke publik. Salah satu alasan klasik, kenapa berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual itu jarang diketahui publik, hal itu dikarenakan masih ada budaya tabu dari korban dan keluarga, kalau nantinya terbongkar. Bagi Elly, hal yang dinilai tabu itu merupakan sikap yang salah, karena nantinya akan memperpanjang jumlah korban selanjutnya.


“Setiap kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa perempuan di dalam perusahaan harus di usut secara hukum, karena sudah di atur dalam undang-undang tindak pidana dan nantinya akan membuat efek jera kepada pelaku,” ujarnya.


Selain itu, Elly juga menjelaskan, perspektif kekerasan terhadap perempuan, laki-laki harus mengetahuinya bahwa kekerasan terhadap perempuan itu bukan dilakukan hanya melalui kekerasan fisik saja. Kategori kekerasan terhadap perempuan juga seperti seperti melecehkan fisik perempuan ketika sedang bekerja dalam perusahaan.Intinya, Elly mengaskan agar aktivis perempuan yang berada di serikat buruh harus konsisten dengan perjuangannya, ketika ada praktik disriminasi dan kekerasan yang menimpa perempuan.


“Saya juga berharap kepada kaum laki-laki yang menjadi pengurus dan anggota di FSB Garteks KSBSI, harus menghilangkan budaya berpikirnya kalau kaum perempuan adalah golongan yang lemah,” tegasnya.


Sebab, dia menjelaskan, tujuan dari perjuangan kesetaraan gender bukan menghilangkan kodrat kedudukan tertinggi laki-laki dalam budaya dan agama. Tujuan dari perjuangan kesetaraan gender adalah, bagaimana mensejajarakan nilai-nilai HAM dan melawan diskriminasi dalam dunia kerja. Karena peran perempuan ada dua dalam kehidupannya ketika mereka bekerja.


“Pertama, ketika dia bekerja di perusahaan, perempuan harus bekerja sesuai kemampuan dan keahliannya. Namun, ketika dia pulang ke rumah, dia tetap bekerja sebagai ibu rumah tangga dan bagian punggung rumah tangga,” terangnya.


Sebagai penutup, dia juga menyampaikan walau perempuan sudah memahami tentang hak pemahaman gender, dia menegaskan perempuan juga harus menghormati hak dan kehormatan laki-laki. Karena kultur budaya dan ajaran agama mengajarkan bahwa derajat laki-lakui lebih tinggi dari pada perempuan. Oleh sebab itulah, dia menekankan persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan gender adalah urusan nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM). (AH)