ID ENG

May Day 2024 dan Gagalnya Rezim Jokowi Membangun Masa Depan Buruh

Tanggal Publish: 07/05/2024, Oleh: DPP FSB Garteks

Buruh di seluruh dunia baru saja merayakan hari buruh internasional atau “May Day 2024”, yang  setiap tahunnya dirayakan pada 1 Mei. Begitu juga dengan buruh di Indonesia, pada umumnya setiap peringatan May Day, masih melakukan tradisi lamanya. Dengan turun ke jalan aksi demo untuk menyuarakan tuntutannya kepada rejim berkuasa. Dimana sampai saat ini masih banyak kebijakan pemerintah dalam ketenagakerjaan berdampak sangat merugikan hak buruh di dunia kerja.

Hemat penulis, dimasa periode ke dua (2019-2024) Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa, konflik politik gerakan buruh dengan rejim penguasa semakin tajam. Hal ini disebabkan, banyak regulasi ketenagakerjaan yang dibuat justru menciptakan kontroversial. Salah satunya adalah, ketika mantan Walikota Solo tersebut, memaksakan membuat Omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Aktivis serikat buruh menilai, UU Cipta Kerja yang disahkan pada Oktober 2020 oleh DPR RI ini, terkesan arogan, tanpa menyerap aspirasi perwakilan buruh. Jadi tak heran, dari awal pembuatan undang-undang ini sampai disahkan, ditolak keras buruh Indonesia. Dengan cara melakukan aksi demo dan uji materi (judicial review) UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).

Ada yang perlu dipahami Presiden Jokowi terkait UU Cipta. Bahwa, sebenarnya gerakan buruh itu tidak menolak keseluruhan menolak UU Cipta Kerja. Tapi yang ditolak adalah, ada beberapa pasal dari kluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang mendegradasi hak buruh. Sehingga kepastian kerja buruh di dunia kerja semakin suram. Akhirnya aktivis buruh meniai, UU Cipta Kerja hanya memberikan karpet merah kepada investor. Sementara jaminan pekerjaan buruh di dunia kerja semakin tidak ada kepastian,. Termasuk upah yang layak bagi buruh ikut terdegradasi. Sehingga daya beli ditengah masyarakat mengalami penurunan dan perputaran ekonomi ditengah masyarakat menjadi lambat.    

Mirisnya, setelah langkah politik Presiden Jokowi sukses memuluskan Omnibus law UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan prestasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan pendidikan. Padahal Indonesia sudah digadang-gadang akan memasuki bonus demografi pada atau Indonesia Emas Tahun 2045. Artinya Indonesia diprediksi menjadi salah satu negara terkuat perekonomiannya di wilayah Asia Pasifik. Perlu diketahui, pada bonus demografi nanti, jumlah masyarakat Indonesia 70 persennya dalam usia produktif (15-64 tahun). Sisanya 30 persen adalah penduduk tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode 2020-2045.

Pastinya ketika Indonesia memasuki bonus demografi, dunia sudah lebih memasuki pasar bebas di era globalisasi. Pengetahuan dan perkembangan teknologi juga semakin pesat. Serta dipastikan, bakal semakin banyak pekerjaan manusia diambil alih teknologi (digitalisasi, robotisasi, otomatisasi). Sementara itu, Tenaga Kerja Asing (TKA) dengan SDM yang mumpuni dari negara maju seperti Cina, juga semakin marak menyerbu Indonesia. Sebab, disahkannya UU Cipta Kerja, maka kedepannya  pemerintah yang berkuasa akan selebar-lebarnya membuka pintu kepada investor asing untuk mendirikan usaha dan lapangan kerja.

Menjadi pertanyaan, ketika Indonesia memasuki bonus demografi, apakah angkatan muda kerja bangsa ini nanti mampu bersaing dengan TKA dari negara maju dalam persaingan kerja? Tentu saja tidak. Sebab, menurut penulis, 10 tahun Presiden Jokowi memimpin Indonesia, kebijakannya hanya lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Tapi kalau dalam urusan kebijakan, tentang bagaimana meningkatkan SDM dan menguatkan keterampilan (skill), khususnya bagi angkatan muda kerja, Jokowi tidak serius. Berdasarkan hasil survei Worldtop20.org pada 2023, prestasi pendidikan Indonesia hanya berada di urutan ke 69 dari 209 negara. Padahal, setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau sebesar Rp665,02 triliun.

Begitu juga dengan kapasitas SDM. Berdasarkan hasil riset dari Institute for Management Development (IMD) bertajuk The 2023 IMD World Talent Ranking, peringkat SDM Indonesia di wilayah Asia, pada 2023 hanya di urutan 9, dibawah Negara Thailand. Sementara Negara kecil Singapura berada menempati urutan pertama. Sangat menyedihkan, negara yang memiliki jumlah penduduk 275 juta lebih dan memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, tapi kualitas pendidikan dan SDM nya masih tertinggal.

Mengutamakan Oligarki

Bahkan, pembangunan infrastruktur yang begitu gencar dilakukan Presiden Jokowi dipastikan mayoritas hasil utang luar negeri dan jumlahnya mencapai ribuan triliun. Pemerintah beralasan tujuan utang luar negeri ini untuk investasi jangka panjang dalam program pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan. Namun salah satu fakta, soal investasi pendidikan, justru lulusan sarjana tingkat S1 di Indonesia setiap tahun masih rendah. Masih kalah dibandingkan Negara Vietnam. Lalu apa alasan masyarakat tidak berminat kuliah? Hal ini karena pemerintah terkesan sengaja membiarkan liberalisasi pendidikan terjadi di dunia kampus. Sehingga biaya kuliah semakin mahal. Parahnya, akibat mahalnya pendidikan bangku kuliah, banyak mahasiswa akhirnya terjerat utang pinjaman online (Pinjol). Ada juga memutuskan tidak melanjutkan program pendidikannya sampai selesai.

Dari uraian tulisan ini, penulis berkesimpulan, 10 tahun rejim Jokowi berkuasa, dia hanya lebih condong memihak kepentingan oligarki. Para investor diberi keluasaan membuka usaha seluas-luasnya. Tapi dibalik itu, upah dan kepastian bekerja tidak memihak pada buruh dengan hadirnya UU Cipta Kerja. Presiden Jokowi hanya sukses membangun popularitas politiknya dan membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen. Tapi dia tidak menyadari, dampak dari UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan, justru menciptakan rantai kemiskinan baru bagi buruh.

Presiden Jokowi juga gagal membangun pondasi SDM, khususnya pengetahuan dibidang keahlian (vokasi) tenaga kerja. Sebab, tolok ukur negara maju itu dilihat dari kualitas pendidikannya, bukan dari jumlah kuantitas. Sehingga, bisa jadi, ketika memasuki bonus demografi, daya saing tenaga kerja Indonesia bisa jadi kalah dengan TKA yang masuk bekerja di Indonesia yang memiliki skill berkualitas. Semoga juga nantinya jutaan generasi muda Indonesia tidak menjadi penonton di negrinya sendiri.     

Penulis ingin mempertegas, bahwa buruh sebenarnya tidak pernah anti dengan pemerintah dan pengusaha. Selama masih bisa duduk berunding dan merumuskan hubungan industrial yang tidak merugikan semua pihak. Karena itulah, aktivis buruh tetap bersikap kritis kepada pemerintah. Karena buruh hadir di negara ini bagian dari kekuatan roda ekonomi. Aktivis buruh juga meminta, Presiden Jokowi tidak alergi dengan sikap kritis gerakan buruh. Justru harus menerima saran dan kritik dari buruh. Untuk kebaikan masa depan demokrasi Indonesia dan membangun kekuatan SDM Indonesia menuju bonus demografi.  

(Andreas SC Hutagalung, Jurnalis/Departemen Media dan Politik di Serikat Buruh FSB GARTEKS afiliasi KSBSI)