ID ENG

Lebih Baik Rumuskan UU Pengupahan, Daripada Mengacu PP No 78 Tahun 2015

Tanggal Publish: 31/10/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Keluarnya Surat Edaran (SE) dari Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Nomor B.240/M-NAKER/PH185K-UPAH/X/2018 tanggal 15 Oktober 2018, tentang kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP tahun 2019 membawa dampak pro-kontra. Dalam surat itu, Kemnaker menghimbau agar setiap provinsi menaikan UMP di tiap provinsi menaikan upah sebesar 8,03 persen sesuai hasil inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.


Salah satu sikap penolakan aktivis buruh menolak SE itu, karena mereka memiliki versi inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah masing-masing. Akibat banyaknya desakan penolakan, pemerintah sendiri juga pusing. Karena sebagian serikat buruh menyerukan untuk mengabaikan SE UMP 2019 dan kebijakan upah minimum sebaiknya diserahkan ke wilayah provinsi masing-masing.


Sunardi, anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat buruh, memaklumi jika ada sebagian kalangan serikat buruh yang menolaknya. Dikatakannya, jika ada sikap kritis yang menolak kenaikan upah 8,03 persen, hal itu wajar saja di alam demokrasi. Sebab mereka punya argumentasi sendiri agar kenaikan UMP 2019, sesuai pertumbuhan ekonomi wilayah provinsi masing-masing.


Disatu sisi, dia juga menerangkan kenaikan UMP 2019, sesuai PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Kenaikan Upah. Dalam PP itu, rumus kenaikan UMP memang harus mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional dan tidak mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi tingkat provinsi. Hal itulah yang menjadi akar perbedaan pendapat antara pemerintah dan serikat buruh. Makanya tak heran jika PP yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2015 itu selalu menjadi perdebatan tiap tahunnya. Karena PP No. 78 Tahun 2015 juga masih dinilai banyak kelemahannya termasuk dalam rekomendasi UMP.


“Tidak heran, kalau serikat buruh tiap tahun selalu memperdebatkan masalah UMP, karena masih mengacu PP No. 78 Tahun 2015 yang masih ditolak semua serikat buruh. Kalau tidak mau ribut-ribut lagi masalah kenaikan UMP, sebaiknya PP No.78 Tahun 2015, sebaiknya di revisi saja,” ungkap Sunardi, yang juga Ketua Umum Kamiparho KSBSI, ketika diwawancarai di Cipinang Muara, Jakarta Timur, berapa waktu lalu.


Selain itu, dia juga berharap agar kawan-kawan serikat buruh melakukan evaluasi tentang rekomendasi UMP yang layak. Sebab, dikalangan serikat buruh sendiri pun masih banyak kelemahannya ketika merumuskan riset tentang rekomendasi kelayakan upah minimum.


Waktu ditanya, apakah setuju kebijakan masalah UMP diserahkan ke wilayah provinsi masing-masing dan tidak mengacu kenaikan 8,03 persen, Sunardi mengatakan kurang setuju. Pendapatnya, kalau masalah kebijakan UMP nantinya diserahkan ke wilayah masing-masing, dia memprediksi akan bisa menjadi gejolak sosial.


“Atau bisa dipersoalkan dalam gugatan hukum dari berbagai pihak, termasuk pengusaha ikut menggugatnya. Saya pikir, kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen memang keputusan jalan tengah, ditengah masih lemahnya PP No.78 Tahun 2015,” pungkasnya.


Memang, dia juga tak membantah jika sistem upah di Indonesia sampai hari ini masih carut marut. Menurutnya, pemerintah memang harus mempunyai langkah terobosan baru untuk merumuskan skala upah layak di Indonesia. Sebagai latar belakang aktivis serikat buruh, dia sudah lama menyarankan agar unsur pemerintah, pengusaha dan serikat buruh bisa duduk bersama untuk kembali berdialog.


“Saya optimis, kalau dalam sebuah dialog bisa saling terbuka, pasti akan ada solusi yang terbaik. Asal jangan ada yang ditutup-tutupi,” ujarnya.


Dalam perjuangan upah minimum, dia meminta agar kawan-kawan serikat buruh untuk tidak menjadikan perjuangan upah efektif. Sebab, pemahaman upah minimum hanya berlaku pada pekerja yang status lajang yang kerjanya satu tahun. Namun langkah perjuangan yang harus dilakukan, bagaimana menciptakan struktur skala upah yang berjenjang hingga diatas satu tahun. Hal itu dikarenakan, serikat buruh masih lemah dari menyusun konsep struktur skala upah sampai melobi pemerintah dan pengusaha.


“Saya juga berharap ketika masih banyak serikat buruh lemah dalam menyusun konsep struktur skala upah, pemerintah juga harus punya tanggung jawab untuk ikut membantu membuat program pelatihannya bersama pengusaha. Biar nantinya semua unsur bisa satu pemahaman untuk merumuskan kebijakan skala upah yang adil, ” tegasnya.


Sebagai anggota Dewan Pengupahan Nasional, dia juga mendorong agar pemerintah segera mewujudkan Undang-undang Pengupahan. Baginya, ketika pemerintah berhasil merumuskan undang-undang pengupahan, kemungkinan bisa menghasilkan solusi tentang upah yang layak. Sehingga tak perlu lagi merevisi kelemahan PP No. 78 Tahun 2015 atau sebaiknya dihapuskan saja. (AH)