ID ENG

Jalan Alternatif, Mewujudkan 14 Minggu Cuti Melahirkan

Tanggal Publish: 05/10/2018, Oleh: DPP FSB Garteks

Serikat buruh/pekerja seperti KSBSI, KSPI, KPBI, masih gencar menuntut atau meminta pemerintah menambah cuti melahirkan bagi buruh perempuan yang bekerja di perusahaan. Berdasarkan peraturan, pemerintah selama ini membuat kebijakan cuti melahirkan kepada perempuan yang bekerja hanya 12 minggu. Namun, cuti melahirkan selama 12 minggu, rupanya masih dianggap kurang, karena dianggap tidak efektif. Serikat buruh/pekerja juga sudah mendesak pemerintah supaya meratifikasi Konvensi ILO No.183 tentang Perlindungan Maternitas. Karena, cuti melahirkan selama 12 minggu dianggap kategori kekerasan berbasis gender ditempat kerja.


Terkait tuntutan cuti melahirkan selama 12 minggu, Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja, juga pernah menyampaikan kepada wartawan kalau kementerian tenaga kerja yang dipimpinnya sekarang ini masih terus melakukan tahap pengkajian. Dia beralasan kenapa pemerintah belum bisa memenuhinya, karena kultur kebijakan politik di Indonesia tidak seperti di negara-negara yang sudah menerapkan 14 minggu cuti melahirkan seperti di negara Vietnam.


“Berbagai macam pertimbangan sedang dikaji pemerintah. Semua instansi pemerintah, terkait masalah penambahan waktu cuti melahirkan sudah kami undang untuk berdialog, karena masalah ini juga bagian dari dunia industri. Nanti kita lihat kemajuan dari kajian yang sedang kami bahas,” ujarnya, di Jakarta berapa waktu lalu.


Sementara itu, akibat gencarnya tuntutan 14 minggu cuti melahirkan yang dilakukan oleh serikat buruh/pekerja, beberapa perusahaan di Indonesia sebenarnya sudah menerima permintaan tersebut. Salah satunya, perwakilan perusahaan multi nasional, seperti Unilever, Honda, Asahi Mas Chemical, sudah memberlakukan 14 minggu cuti hamil, melalui jalur perjanjian kerja sama bersama (PKB) dengan piha perusahaan.


Ary Joko Sulistyo, Ketua Umum (Ketum) FSB Garteks KSBSI, menjelaskan tuntutan buruh perempuan mengenai cuti melahirkan selama 14 minggu (4 bulan), merupakan hal yang wajar. Dia beralasan, selama cuti melahirkan selama 12 minggu dinilai sangat tidak efektif bagi perempuan. Karena mereka tak mempunyai kesempatan banyak memberikan air susu ibu (ASI) yang terbaik buat bayinya.


Selama ini juga, banyak buruh perempuan yang bekerja di perusahaan, ketika mereka dalam kondisi hamil besar, biasanya mengambil cuti melahirkan satu minggu sebelum melahirkan. Dalam dunia medis ketika mengambil cuti hamil satu minggu sebelum melahirkan, sebenarnya sangat berpengaruh bagi kesehatan janin dalam kandungan. Bahkan sering terjadi selama ini banyak perempuan ketika kondisinya dalam hamil besar sambil bekerja, sering terjadi peristiwa pendarahan sampai keguguran akibat kelelahan bekerja dan stres yang tinggi.


Jelasnya, tuntutan serikat buruh/pekerja cuti buruh perempuan melahirkan selama 4 bulan dinilainya sudah tepat, walau masih menjadi perdebatan dan tahap kajian oleh pemerintah. Sarannya, pemerintah harus lebih tanggap menyikapi tuntutan cuti melahirkan 4 bulan. Sebab, sampai sekarang masih banyak pengusaha berpendapat, tuntutan tersebut dinilai tidak realistis.


“Mungkin saja alasan masih banyak pengusaha belum bisa menerima tuntutan cuti melahirkan selama 4 bulan, karena hari libur di Indonesia paling banyak liburnya. Kalau ditambah ada kebijakan cuti melahirkan selama 4 bulan, mungkin pengusaha menilai terjadi pengurangan produktivitas, karena buruh perempuan dianggap aset perusahaan,” ujarnya, ketika diwawancarai, Senin kemarin (03/10/2018), di Cipinang Muara, Jakarta Timur.


Pengusaha juga masih enggan mengikut tuntutan, karena masih mengacu pada peraturan pemerintah sesuai undang-undang yang berlaku. Bagi Ary Joko Sulistyo, persoalan ini memang serba dilematis. Namun dia berharap, sebaiknya pengusaha bersimpati terhadap tuntutan cuti melahirkan selama 4 bulan. Toh semua terlahir dari seorang perempuan, entah itu dia seorang pengusaha atau profesinya sebagai buruh.


“Kita semua tahu, perjuangan seorang perempuan dari proses hamil sampai melahirkan pasti sangat berat. Apalagi ketika posisinya hamil besar sedang dalam bekerja, tentunya resikonya sangat berat. Kalau pun pemerintah belum membuat kebijakan baru tentang tuntutan cuti melahirkan 4 bulan, tapi ada baiknya pengusaha sudah memberlakukannya dalam perusahaan dan kami sangat mengapresiasinya,” ucapnya.


Tegasnya, FSB Garteks KSBSI memang gencar bersama serikat buruh/pekerja lainnya mendorong pemerintah menerapkan cuti melahirkan 4 bulan kepada buruh perempuan. Selama ini, perusahaan sektor industri garmen, tekstil dan sepatu bisa dipastikan 80 persen mayoritas perempuan. Artinya, presentasi produktivitas perempuan yang hamil dalam perusahaan paling hanya mencapai 30 persen.


Jadi bisa dipastikan, perempuan yang hamil dalam satu tahun hanya 10 persen dalam satu perusahaan dan kehamilannya pun tidak bersamaan, sehingga cutinya tidak bersama-sama juga. Sehingga, dia berpendapat sebenarnya tuntutan cuti melahirkan 4 bulan itu tidak merugikan dan mengurangi produktivitas perusahaan.


“Tuntutan cuti melahirkan 14 minggu memang demi kemanusiaaan, untuk mengurangi jumlah kematian ibu dan anak. Sementara,jumlah kematian ibu dan anak di Indonesia terbilang masih tinggi, karena ada faktor tekanan kerja. Ketika kami melakukan kampanye tuntutan cuti melahirkan 4 bulan juga bagian dari mewujudkan program pemerintah untuk mengurangi jumlah kematian ibu dan anak, ” tegasnya.

Solusi Alternatif
Ketika pemerintah belum memberikan solusi dari tuntutan serikat buruh/pekerja tentang cuti melahirkan bagi buruh perempuan. Sebab memperjuangkan cuti melahirkan 4 bulan itu bukan lagi bagian perjuangan serikat buruh tapi juga bagian dari perjuangan pemerintah. Lanjutnya, Ary Joko Sulistyo juga mengutarakan sebenarnya ada solusi alternatif ketika perjuangan yang dilaukukan belum dikabulkan pemerintah.


Langkah terbaiknya, bagaimana serikat buruh/pekerja melakukan agenda “sosial dialog” dengan pihak perusahaan, dengan cara meyakinkan pengusaha akan pentingnya cuti melahirkan selama 4 bulan itu sebenarnya tidak merugikan perusahaan dan demi alasan kemanusiaan. Contohnya, KSBSI rutin melakukan dialog mengenai pengusaha dan pemerintah mengenai standar jaminan keselamatan dan kesehatan kerja nasional (K3N), untuk mengurangi dampak kecelakaan kerja terhadap buruh/pekerja di perusahaan.


“Hasilnya cukup memuaskan, karena banyak pengusaha yang mau mendengar. Setiap tahun, perusahaan terus melakukan perbaikan standar K3N dalam perusahaan mereka, termasuk mengatasi dampak pencemaran lingkungan dalam perusahaan yang berdampak bagi buruh ketika mereka sedang bekerja,” imbuhnya.


Untuk itulah, dengan melakukan program sosial dialog, nantinya bisa menghasilkan solusi dengan cara merumuskan perjanjian kerja sama (PKB) bersama pihak perusahaan, dengan cara meloby agar poin cuti melahirkan 4 bulan diterima dengan baik. “Mengedepankan langkah dialog sebenarnya salah satu solusi terbaik selama serikat buh dan pengusaha bisa membangun hubungan yang harmonis,” pungkasnya.


Jadi tidak perlu menunggu kebijakan pemerintah yang sedang mengkaji tuntutan cuti melahirkan 4 bulan. Kalau aktivis serikat buruh/pekerja bisa meloby dengan cara argumentasi yang humanis kepada pengusaha, dia yakin pengusaha akan mengabulkan tuntutan yang diperjuangkan. (AH)