Arab Saudi Belum Memiliki Undang-Undang Yang Menjamin Perlindungan Buruh Migran
Tanggal Publish: 01/11/2018, Oleh: DPP FSB Garteks
Hari Senin kemarin, 29 Oktober 2018, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan tentang berita eksekusi hukuman mati buruh migran asal Indonesia di negara kerajaan Arab Saudi. Kematian Tuti Tursilawati, kembali menambah daftar buruh migran asal Indonesia di negara kerajaan Arab Saudi. Mirisnya lagi, pada proses eksekusi hukuman mati terhadap Tuti, justru pemerintah Indonesia sebelumnya tidak mendapat pemberitahuan resmi (notifikasi) dari negara Kerajaan Arab Saudi.
Akibat tanpa ada pemberitahuan resmi, sikap protes dari pemerintah sampai aktivis buruh migran pun ramai-ramai mengecam negara salah satu penghasil minyak bumi terbesar itu. Tuti, divonis hukuman mati sejak tahun 2011. Di pengadilan kerajaan Arab Saudi, dituduh dan terbukti melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Dalam pembelaannya, dia terpaksa melakukan pembunuhan terhadap majikannya, karena dirinya sering mendapat perlakuan pelecehan, sehingga dia terpaksa melakukan pembunuhan.
Tapi apa daya, berbagai upaya jalur hukum untuk membebaskanya dari jeratan hukuman mati ternyata tak berhasil. Baik, bantuan hukum dari pemerintah Indonesia dan aktivis buruh migran pada saat itu, namun hakim memutuskan hukuman kepada Tuti, karena dituduh melakukan pembunuhan secara berencana.
Bahkan, ketika Raja Salman, penguasa nomor satu di negara keraajaan Arab Saudi, melakukan lawatan kunjungan negara ke Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyampaikan permintaan bagi warga Indonesia yang menjalani proses hukuman mati agar mendapat pengampunan. Namun permintaan itu ternyata ditolak halus oleh Raja Salman dan proses eksekusi hukuman mati pun tetap berjalan.
Aktivis Buruh Migrant Care, Anies Hidayah, mengatakan sejak dari tahun 2008-2018, sudah ada 6 orang warga Indonesia yang menjadi buruh migran telah meninggal akibat eksekusi hukuman mati. Mereka yang mengalami hukuman mati, semuanya memiliki latar belakang kasus pembunuhan terhadap majikannya.“Pada saat warga Indonesia di hukum mati pun juga tak ada notifikasi kepada pemerintah Indonesia. Saya nilai, perlakuan notifikasi kerajaan Arab Saudi telah melanggar proses keadilan dan nilai-nilai HAM,” ucapnya, di Jakarta, Rabu 30 Oktober 2018.
Oleh sebab itulah, Anies Hidayah, meminta pemerintah melakukan sikap protes keras kepada negara kerajaan Arab Saudi. Selain itu, dia juga mendesak pemerintah agar membuat pelatihan kepada buruh migran Indonesia, ketika mereka ingin berangkat bekerja ke Arab Saudi. Seperti pembekalan pemahaman ilmu hukum. Pasalnya, selama ini masih banyak buruh migran asal Indonesia, mereka minim pengetahuan dan keahlian. Sehingga, ketika mereka di luar negeri mendapat ancaman kekerasan, justru melakukan serangan balik dengan cara kekerasan juga. Kabarnya, Tuti nekat membunuh majikannya karena dia sering mendapat pelecehan dan ancaman pemerkosaan. Sehingga dia mengambil jalan singkat melakukan pembunuhan, karena ingin bebas dari ancaman hukuman.
Dikabarkan Tuti nekat melakukan pembunuhan terhadap majikannya, karena dia sering mendapat perlakuan pelecehan dan ancaman ancaman pemerkosaan. Akhirnya, dia memilih jalan singkat membunuh majikannya, karena dia ingin bebas dari ancaman dari majikannya. Seandainya, waktu itu Tuti mempunyai informasi tentang ilmu hukum, tentu dia tidak mengambil jalan pintas, tapi melaporkan ancaman majikannya ke pihak kepolisian setempat atau perwakilan Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi.
Jaminan Perlindungan
Sementara itu, Yatini Sulistyowati, dari Focus Point KSBSI, mengatakan vonis hukuman mati memang masih sulit mendapat pengampunan dari pemerintahan kerajaan Arab Saudi. Hal itu dikarenakan, di Arab Saudi, sampai sekarang ini belum memiliki undang-undang tentang jaminan dan perlindungan buruh migran. Ditambah lagi, penerapan hukuman mati sistem “kafalah”, sebenarnya sangat menakutkan buruh migran yang bekerja di Arab Saudi, apabila seorang buruh migran sedang ditimpa masalah kasus hukum yang berat, seperti kasus pembunuhan. Karena ancaman vonis hukuman mati sudah pasti didepan mata mereka.
Padahal, dalam kasus pembunuhan yang dilakukan pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia, pada umumnya berlatar pembelaan, akibat keselamatan fisik mereka sering terancam kekerasan fisik dan seksual. Dalam kasus hukuman mati yang menimpa Tuti, Yatini mengatakan sebenarnya dia bisa lolos dari hukuman mati jika ada pengampunan dari pihak keluarga korban yang dibunuhnya.
Namun, ketika pemerintah terus melakukan negoisasi dengan pemerintah kerjaan Arab Saudi, rupannya salah satu anak dari majikan yang dibunuh Tuti, tidak memberi pengampunan. Dia menilai, sistem budaya kafalah sudah merupakan budaya masyarakat di Arab Saudi yang terkadang sering menjadi masalah bagi buruh migran. Terutama, ketika sedang dihadapkan dengan vonis hukuman mati.
“Pemerintah Indonesia harus ikut menekan Arab Saudi agar pemerintahnya memiliki undang-undang jaminan dan perlindungan buruh migran, sebagai solusi alternativ untuk mengurangi resiko hukuman mati,” terangnya, berapa waktu lalu, di kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Akibat banyaknya tekanan dunia internasional dan aktivis buruh migran, pihak kerajaan Arab Saudi pun saat ini memang sudah membuat draft undang-undang jaminan perlindungan terhadap buruh migran. Untuk sementara ini, dia bersama jaringan aktivis buruh migran lainnya masih terus memantau sejauh mana perkembangan draft undang-undang yang dibuat itu, apakah benar berpihak pada keadilan atau tidak ada manfaatnya.
Tegasnya, Yatini berpendapat sebaiknya pemerintah segera membatalkan rencana program pengiriman sebanyak 30 ribu orang, yang berprofesi pekerja rumah tangga (PRT) ke Arab Saudi. Karena, tahun 2015 lalu lalu pemerintah memang sudah mencabut moratorium atau pengiriman tenaga kerja, khususnya PRT ke Arab Saudi dan negara timur tengah lainnya. Akibat banyaknya PRT yang menjadi korban kekerasan seksual dan fisik.
“Kam berharap pemerintah tidak mencabut moratorium kepada negara Arab Saudi, sampai benar-benar ada produk undang-undang dari negara Arab Saudi yang benar-benar menjamin perlindungan buruh migran dari Indonesia maupun negara lainnya yang bekerja disana,” tutupnya. (AH)