ID ENG

Ada Skenario Politik Sapi Perah Dibalik Terbitnya Aturan Iuran Tapera?

Tanggal Publish: 12/06/2024, Oleh: DPP FSB Garteks

Rakyat Indonesia masih memperdebatkan atas polemik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Peraturan tersebut turunan dari Undang-Undang No.4 Tahun 2016 Tentang Tapera. Nah, aturan PP Tapera ini, mewajibkan pekerja/buruh yang bekerja di sektor swasta dan mandiri wajib membayar iuran Tapera setiap bulannya. Adapun iuran yang sudah dipotong pemerintah sebesar sebesar 2,5 persen dari upahnya. Kemudian dari pengusaha atau pemberi kerja sebesar 0,5 persen, sehingga menjadi 3 persen yang diperuntukkan wajib bagi semua pekerja baik yang sudah punya rumah, sedang mencicil rumah, sehingga tidak patut diwajibkan untuk dipotong upahnya.

Sontak saja, PP Tapera yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung ditolak aktivis serikat buruh/pekerja, walau peraturan ini diterapkan pada 2027. Termasuk, pengusaha juga keberatan dan ikut menolak. Berbagai elemen serikat buruh/pekerja pun telah memberikan keterangan resmi menolak PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera. Mereka menilai, pemotongan upah buruh setiap bulan sebesar 2,5 persen, sangat merugikan buruh. Apalagi, sebelum aturan iuran Tapera diterbitkan, pemerintah tidak ada melibatkan perwakilan serikat buruh dan pengusaha untuk berdialog. Sehingga wajar, bila kebijakan ini dinilai otoriter dimata publik. Namun anehnya pemerintah seperti bersikap angkuh dan memaksa aturan iuran Tapera harus tetap dijalankan. Tak mau peduli dengan berbagai kritikan dari publik.    

Pada dasarnya, buruh tidak menolak aturan ini, apabila taraf upah kesejahteraannya sudah jauh lebih layak. Namun, faktanya, hak hidup buruh layak buruh di Indonesia sampai hari ini tidak sesuai ekspetasi. Lalu, apakah pemerintah tidak tahu, sejak diberlakukannya Omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan, sangat berdampak pada kesejahteraan buruh. Sebab, beberapa pasal dari kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja, membuat upah buruh menurun. Dan akhirnya berimbas pada daya beli buruh menurun ditengah masyarakat. Makanya, tak heran, mengapa buruh masih bersikeras menolak UU Cipta Kerja, karena undang-undang ini dianggap sumber malapetaka.

Apalagi dari awal proses pembuatan sampai disahkannya UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR RI memang sengaja dipaksa dan kejar target. Minim melibatkan partisipasi publik dan mengabaikan saran maupun kritik dari perwakilan serikat buruh. Jadi, semuanya itu dibuat memang sarat kepentingan oligarki. Kemudian, alasan buruh menolak kebijakan iuran Tapera, karena sebelumnya buruh sudah terbebani potongan gaji dari pemerintah. Seperti Pajak Penghasilan (PPh 21), iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan yang terdiri dari iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Penulis menilai, periode ke 2 Presiden Jokowi memimpin negara ini, banyak kebijakannya dalam ketenagakerjaan terkesan mendiskriminasikan buruh. Bahkan, hampir 5 tahun ini, serikat buruh paling banyak melakukan aksi demo diberbagai kota. Terutama aksi perlawanan menolak UU Cipta Kerja maupun kebijakan lainnya. Seharusnya pemerintah tahu, buruh itu berperan besar menjalankan roda perekonomian negara. Gerakan buruh juga terlibat dalam pembangunan demokrasi dan menumbangkan rezim diktator Soerharto yang berkuasa selama 32 tahun. Namun mirisnya, walau buruh banyak memberikan kontribusi pembangunan, nasibnya masih banyak yang memprihatinkan. Padahal negara ini berlandaskan ideologi Pancasila yang mendepankan keadilan dan kemanusiaan.

Bukan Arogan   

Penulis masih ingat mengenai gagasan Jean Jacques Rousseau seorang filsuf dari Prancis, yang salah satu karya tulisnya menerbitkan buku “Kontrak Sosial”. Sekadar tahu, Rousseau dikenal salah satu tokoh pemikir di abad pencerahan. Dia menggagas Negara Prancis, awalnya berbentuk monarki (kerajaan), menjadi pemerintahan republik. Dalam gagasan negara republik, Rousseau menegaskan, demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Lalu, kedudukan pemerintah, legislasi dan rakyat harus sederajat. Begitu juga, setiap keputusan politik yang akan diputuskan, pemerintah harus mengajak perwakilan elemen rakyat untuk berdialog. Sehingga, kebijakan tersebut nantinya tidak merugikan semua pihak.

Intinya, konsep gagasan negara republik yang dicetuskan Rousseau adalah semua manusia memiliki persamaan hak dan kesetaraan demokrasi tanpa ada diskriminasi. Begitu juga, kedudukan rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi. Sebab, seorang presiden yang terpilih pun lahir dari proses demokrasi rakyat. Jadi, ketika seorang pemimpin negara terpilih melalui proses demokrasi, maka dia harus tulus melayani rakyatnya. Tidak menggunakan kepemimpinan feodal dan arogan ala monarki dalam membuat keputusan sesuai kesepakatan kontrak sosial.

Nah, semua tahu bahwa Indonesia, sistem pemerintahannya adalah republik. Jokowi juga terpilih menjadi presiden sampai 2 periode melalui kedaulatan demokrasi. Termasuk, sebagian besar suara buruh itulah yang berjasa mengantarkannya menjadi kepala negara. Oleh sebab itulah, Presiden Jokowi seharusnya berterima kasih kepada buruh. Karena negara ini mayoritas rakyatnya adalah pekerja formal dan informal. Bukan setelah menjadi penguasa langsung melupakan jasa buruh. Lalu membuat kebijakan ketenagakerjaan seperti aturan iuran dana Tapera yang bersifat sewenang-wenang (despotik), tanpa melibatkan dialog dengan perwakilan serikat buruh.

Sebagai bahan refleksi, apakah terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera memang untuk kepentingan rakyat? Atau dibalik itu buruh hanya dijadikan sapi perah untuk kekuasaan politik? Namun penulis menilai, terbitnya aturan yang secara mendadak ini penuh kejanggalan. Bahkan, tanggapan kalangan akademisi, menganggap aturan iuran Tapera ini bukan solusi buruh untuk mendapatkan perumahan layak. Justru dana iuran yang dikumpulkan dikhawatirkan menjadi ladang korupsi. Selain itu, karena pemerintah terkesan memaksakan kebijakan iuran dana Tapera harus direalisasikan, asumsi publik pun semakin hari penuh kecurigaan.

Sebagian menduga, kebijakan ini sebagai upaya pemerintah dalam mengumpulkan dana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Hal ini dilakukan akibat minimnya investor asing yang berminat dalam proyek pembangunan IKN. Sementara, Presiden Jokowi jauh-jauh hari sudah kejar target pembangunan IKN harus segera rampung sebelum kekuasaannya berakhir. Kemudian, ada juga yang menduga terbitnya aturan iuran dana Tapera, karena kondisi keuangan negara sedang kolaps (ambruk), akibat dampak resesi global yang berkepanjangan. Bahkan imbasnya, ratusan ribu buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberbagai daerah. Ditambah lagi, utang luar negeri di era Presiden Jokowi semakin membengkak. Tepatnya, total utang pemerintah per 30 April 2024, mencapai Rp 8.338,43 triliun.   

Mirisnya, ditengah situasi dunia sedang dihadapkan resesi ekonomi berkepanjangan dan utang Indonesia terus membengkak, justru pemerintah tidak berbuat banyak memberantas praktik korupsi. Bahkan, hasil laporan lembaga Transparancy International (TI) pada akhir 2023 membeberkan laporan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari ratusan negara yang disurvei. Dimana, pada 2023 TI melakukan survei terhadap 180 negara dan salah satu hasilnya skor IPK Indonesia 34, sama seperti tahun lalu. Peringkatnya menurun dari 110 tahun, menjadi 115 pada 2023. Dan kesimpulannya, penanganan korupsi yang dilakukan pemerintah mengalami stagnan (jalan ditempat). Tanpa ada prestasi memuaskan melawan praktik korupsi yang sedang menggurita.  

Sebenarnya tujuan awal dari Undang-Undang No.4 Tahun 2016 Tentang Tapera adalah semangat gotong royong bersama pemerintah dan buruh untuk mendapatkan rumah yang layak. Tapi sayangnya, melalui kebijakan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera, justru membuat posisi buruh dirugikan. Sehingga singkatan Tapera pun saat ini diplesetkan menjadi “tabungan penderitaan rakyat”. Dan buruh dijadikan politik sapi perah melalui kebijakan iuran dana Tapera, ditengah situasi perekonomin dunia sedang mencekam? Semoga tidak.   

(Andreas SC Hutagalung, penulis adalah Jurnalis dan Departemen Media dan Politik DPP FSB GARTEKS afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia/KSBSI)