ID ENG

3 Konfederasi Serikat Buruh Terbesar di Indonesia Desak Pemerintah Segera Cabut UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Tanggal Publish: 24/08/2023, Oleh: DPP FSB Garteks

Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja masih menjadi polemik dan buruh menegaskan menolak undang-undang tersebut. Karena itu, Jaringan Union Global yang diwakili 3 pimpinan Konfederasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja menggelar konferensi pers. Agenda konferensi pers ini langsung di organisir  Jaringan Union Global yang bersamaan mengadakan Simposium Nasional 'Peta Jalan Reformasi Hukum Perburuhan Di Indonesia' di Hotel Ashley Jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat, Rabu (23/8/2023).

Dalam konferensi pers ini juga dihadiri 120 perwakilan serikat buruh/serikat pekerja. Dan 3 pimpinan serikat buruh yang menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja diantaranya Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Andi Gani Nena Wea Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).    

Sebelumnya, pada sidang perburuhan perburuhan atau International Labour Conference (ILC) oleh International Labour Organization (ILO) yang diadakan pada Juni 2023 di Jenewa Swiss, juga menyoroti persoalan buruh di Indonesia. Dimana dalam sidang ini membahas masalah penerapan atau aplikasi Konvensi ILO No.198 tahun 2006 yang dinilai keberadaannya oleh Komite Aplikasi Standar.

Nah, hasil keputusan ILC ini, forum ILO kesimpulannya adalah meninjau kembali serta mengamandemen Undang-Undang Cipta Kerja. Kemudian, pemerintah Indonesia juga diminta untuk menyampaikan jawaban terhadap apa yang diminta ILO, termasuk memanfaatkan bantuan teknis ILO.   

Dalam siaran pers yang disampaikan kepada awak media media ini, 3 konfederasi serikat buruh/serikat pekerja ini menyampaikan 3 sikap kepada pemerintah. Diantaranya:

  1. Keberadaan UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 11 tahun 2020 yang diinisiasi pemerintah, sejak awal ditolak oleh serikat buruh/serikat pekerja karena secara nyata mengurangi dan menghilangkan hak buruh Indonesia terkait penetapan upah minimum, tenaga kerja alih daya atau outsourcing, pembayaran pesangon, ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lain sebagainya.

 

  1. Komite Aplikasi Standar (Committee on the Application of Standards) pada Konferensi Perburuhan International (International Labour Conference) di Jenewa, Swiss, tanggal 5-16 Juni 2023, dalam kesimpulannya terkait pelaksanaan Konvensi ILO No. 98 tentang hak berorganisasi dan berunding bersama di Indonesia, pada tanggal 13 Juni 2023, menilai dan menyimpukan bahwa UU Cipta Kerja/Omnibus Law secara nyata bermasalah dan karenanya mendesak Pemerintah RI segera melakukan tindakan-tindakan efektif dan dalam kurun waktu yang ditentukan (time bound) oleh Komite Aplikasi standar untuk:
  • Meninjau ulang UU Cipta Kerja dan segera melakukan amandemen terhadap undang-undang tersebut dengan memenuhi ketentuan standar perburuhan internasional [Konvensi ILO No. 98];
  • Memanfaatkan bantuan teknis ILO dengan fokus khusus pada reformasi Undang-Undang Ketenagakerjaan termasuk UU Cipta Kerja, dengan melibatkan mitra sosial secara penuh, berdasarkan nilai dan prinsip Konvensi ILO No. 98 baik dalam hukum formal mau pun dalam praktek pelaksanaannya;
  • Memberikan informasi detail dan lengkap tentang langkah-langkah yang diambil beserta kemajuan yang dicapai kepada Komite Ahli (Committee of Experts) paling lambat pada 1 September 2023.

Dalam siaran pers yang disampaikan kepada awak media media ini, 3 konfederasi serikat buruh/serikat pekerja ini menyampaikan 3 sikap kepada pemerintah. Diantaranya:

  1. Pada tanggal 11 Juli 2023, KSPSI, KSPI dan KSBSI menyurati Menteri Tenaga Kerja RI terkait tindaklanjut atas kesimpulan Komite Aplikasi Standar dan meminta Pemerintah untuk segera melibatkan mitra sosial dalam menyusun peta jalan (road map) reformasi Undang Undang Ketenagakerjaan, termasuk didalamnya UU Cipta Kerja No.6/2023 dan sejumlah peraturan pelaksananya dan merumuskan usulan-usulan terkait bantuan teknis dari ILO, namun sampai saat ini, surat tersebut, tidak ditanggapi oleh Pemerintah. Sebaliknya, Pemerintah melakukan serap aspirasi dengan beberapa serikat buruh/serikat pekerja terkait PP No. 35 tahun 2021 dan PP No. 36 tahun 2021 dan menentukan komposisi Lembaga Tripartit Nasional secara sepihak dan tanpa berkonsultasi dengan Konfederasi terbesar di Indonesia. Kedua hal tersebut, secara jelas tidak sejalan dan terkait langsung dengan kesimpulan Komite Aplikasi Standar.

Terkait dengan hal tersebut diatas, KSBSI, KSPI, KSPSI mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menindaklanjuti kesimpulan dan rekomendasi Komite Aplikasi Standar ILO untuk meninjau kembali dan mengamandemen Undang Undang yang terkait dengan Ketenagakerjaan, termasuk didalamnya Undang Undang Cipta Kerja sesuai dengan standard-standar Perburuhan Internasional. Dan dengan segera, meminta bantuan teknis dari Lembaga Perburuhan Internasional (ILO) dan melibatkan mitra sosial, secara khusus serikat buruh/serikat pekerja terbesar di Indonesia.

KSPSI, KSPI dn KSBSI secara tegas juga menyatakan Undang Undang Cipta Kerja secara khusus kluster ketenagakerjaan harus dibatalkan karena secara nyata membawa kesengsaraan kepada buruh/pekerja di Indonesia dan kami akan terus melakukan upaya perlawanan baik secara hukum maupun aksi/demonstrasi terhadap undang-undang tersebut beserta ketentuan turunannya.

Pembentukan dan penentuan komposisi Lembaga Tripartite Nasional yang dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah dan tanpa berkonsultasi dengan Konfederasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja terbesar (the most representative) seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI tidak dapat diterima keberadaannya, karena bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Konvensi ILO No. 144 mengenai Konsultasi Tripartit.

Sehubungan dengan langkah serap aspirasi terhadap perubahan PP No. 35 tahun 2021 dan PP No. 36 tahun 2021 ataupun serap aspirasi terhadap perubahan ketentuan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja yang dilakukan oleh Pemerintah pada bulan Juli 2023, tidak dapat diterima dan dipakai sebagai alat legitimasi atau dikaitkan dengan tindaklanjut dari kesimpulan komite Aplikasi Standar. (AH)